Jumat, 07 April 2017

Sore itu Istimewa (bagian 3)

"Saya memutuskan untuk fokus menulis mba", katanya secara perlahan.

Setengah tidak percaya sayapun berhenti menuangkan air ke gelas dan memandangnya lekat lekat.

"Serius?"

"Iya. InsyaAllah . Ya mungkin kami akan mengalami kesulitan finansial karena saya harus melepaskan pekerjaan saya saat ini, tapi saya bahagia menjalankannya"

"Alhamdulillah. Lalu... gimana respon ayahmu?"

"Ayah...," jawab Dian ragu. respon yang selalu sama ketika ia ditanya tentang ayahnya.

Hubungan antara Dian dan ayahnya memang ironis menurut saya. Keduanya saling menyayangi, namun dengan cara yang berbeda sehingga rasa sayang itu berbelok entah kemana.

"Seorang anak pasti menjerit merindukan kasih sayang kedua orangtuanya mba," katanya tempo hari. "Hanya saja... ada orangtua yang mendengarnya... ada yg melewatkannya," lanjutnya dengan nada tertahan. Perkataan ini yang membuat saya akhirnya memilih untuk memeluk semua anak saya erat erat, baik secara raga maupun jiwanya.

Kata kata itu muncul dari peliknya hubungan Dian dengan ayahnya. Kepelikan  ini bermula dari masa lalu orangtuanya Dian. Sulitnya ekonomi yg dialami ayahnya dian membawa beliau mengalami banyak episode pahit dalam kehidupan. Dihina orang, sulit mendapatkan akses pendidikan tinggi, hingga drama percintaan yg tragis karena ayah sang gadis tidak menerima calon menantu yang miskin. "Apa yang kamu punya? Memangnya anak saya mau dikasih makan cinta! Pergi kamu dari sini! Dasar orang kampung!" Kata ayah gadis itu yang selalu beliau ingat hingga sekarang.

Kepahitan itulah yang pada akhirnya membawa beliau merantau ke jakarta. Di jakarta ayahnya dian berkenalan dengan seorang kerabat atas suatu insiden. Tas ayahnya tertukar dengan dia. Alih alih mengambil tas tersebut, ayahnya Dian malah menelusuri rumah pemiliknya dan memutuskan untuk mengembalikannya. Padahal isi tas tersebut banyak barang barang berharga. Melihat kejujurannya, kerabatnya inipun memberikan ayah dian pekerjaan.

Selama bekerja ayah Dian terlihat sangat gigih dan tak pernah mengeluh. Sikap positif ini yang membuat ia semakin dekat dengan bosnya tersebut. Pak Rio, begitu ia menyebut kerabatnya itu ketika dikantor.

Ayahnya Dian sering diundang kerumah Pak Rio untuk mengerjakan pekerjaan kantor. Frekuensi ini semakin sering, terutama ketika ia memiliki anak pertamanya, yaitu Dian. Pak Rio dan istrinya yang sudah lama tidak punya keturunan menjadi lebih sering mengundang keluarga Dian untuk datang bermain. Alasannya cuma 1, mereka ingin bertemu dengan Dian.

Awalnya hanya pulang hari. Lama lama dian menjadi sering menginap dirumah Pak Rio. Diijinkan untuk menginap lebih tepatnya karena saat itu Dian masih bayi. Melihat anaknya dirawat oleh orang baik dan mapan secara finansial membuat ayahnya Dian tidak menolak ketika Bosnya tersebut meminta Dian untuk tinggal terus dirumahnya. Apalagi istrinya Pak Rio terlihat sangat menyayangi Dian dan mengeluarkan seluruh naluri keibuannya untuk Dian. "Setidaknya Dian tidak akan mengalami pahitnya dihina sebagai orang miskin," begitu pikir ayahnya.

Sementara itu ibunya Dianpun mengaminkan keputusan suaminya. Tumbuh sebagai anak bungsu yang tidak pernah merawat anak kecil dan sekarang harus merantau jauh dengan orangtua membuat ibunya Dian sangat kerepotan ketika harus merawat Dian sendirian. Apalagi ibunya Dian berasal dari desa yang masih minim pengetahuan tentang pengasuhan. Merawat anak pertama menjadi hal yang sulit baginya.Maka sejak hari itu, resmilah pak rio dan istrinya sebagai orangtua angkat dian.

Orangtuanya dian menengok dian setiap minggu. Dan hal itu rutin mereka lakukan hingga Dian memiliki adik kandung. Selama ini semua berjalan normal. Tidak ada masalah. Dian tumbuh sebagai anak yang penurut, berprestasi, dan disenangi oleh banyak orang. Dian memiliki banyak fasilitas yang membuat ia dihargai oleh teman temannya dan ayah kandungnya bersyukur akan itu.

Tapi sebenarnya, ayahnya tidak menyadari bahwa ada gejolak yang sangat besar dalam diri dian. Gejolak yang terus membekas sampai sekarang. Sejak kecil, dian selalu bertanya siapa diri dia sebenarnya. Mengapa ada dua pasang orangtua yang harus ia sebut sebagai ibu dan ayah. Mengapa dia harus tinggal bersama orang yang bukan orangtua kandungnya. Mengapa ia memiliki seseorang yang ia sebut sebagai adik dan adik tersebut bisa tinggal bersama orangtua kandungnya sementara dia tidak.

Berbagai pertanyaan berkecamuk dikepalanya. Dian sejak kecil memang cerdas dan semua orang bisa melihat itu. Namun sayang, kecerdasannya tersebut menari nari ditengah berbagai persepsi negatif tentang dirinya sehingga kecerdasan itu harus berhenti pada kesimpulan yang salah.

Apakah saya anak yang tidak diinginkan? Apakah saya dibuang? Mengapa adik saya tinggal bersama orangtua saya sementara saya tidak? Apakah saya lebih buruk dari adik saya? Apakah saya tidak berharga?

Dian tidak pernah berani untuk mengeluarkan kegelisahan hatinya. Selama ini dian memilih untuk tumbuh sebagai anak bahagia karena tidak ingin mengecewakan kedua orangtua kandungnya. "Toh mereka sudah menjaga saya dengan baik. Buat apa saya menanyakan hal hal yang bisa membuat mereka kecewa? Saya tidak ingin membuat mereka merasa bahwa saya tidak bahagia diasuh oleh mereka," begitu batin Dian.

Namun yang namanya rasa tetaplah rasa. Rasa adalah energi, yg tidak bisa dibuat atau dihilangkan, ia hanya bisa berubah bentuk. Maka rasa kerinduan akan kasih sayang orangtuanya sendiri berubah menjadi perasaan negatif terhadap dirinya. Apalagi setelah adiknya lahir, ayahnya dian memutuskan untuk membuat perusahaan sendiri dan orangtua angkatnya menjadi pemodal utama diperusahaan tersebut.


"Apakah aq dijual demi perusahaan ayah? Apakah aq hanya menjadi alat bagi ayah untuk menjadi kaya? Apakah aq tidak layak untuk disayang oleh orangtuaku sendiri?" Segala kepelikan itu membawa dian semakin jauh dan jauh. Terperosok dalam lubang hitam ketidakberhargaan.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...