Selasa, 04 April 2017

Sore itu Istimewa

Cerpen: Sore itu istimewa

Sore itu istimewa. Karena saya kedatangan wanita istimewa. Orang orang memanggilnya Dian. Namun saya memanggilnya "ade". Perawakannya yang imut dan wajahnya yang sendu selalu membuat orang ingin menyayanginya layaknya adik sendiri. Dan sore itu ia datang ke rumah tanpa memberi kabar sebelumnya, seperti yang sudah sudah.

Sore itu istimewa. Ade membawa suaminya dan jagoan kecilnya kerumah. Badannya terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu. Tapi saya melihat binar matanya terpancar bahagia. Saya peluk erat ia dan saya kecup keningnya. Betapa bahagianya saya bisa ditakdirkan untuk mengenal sosok ini. Wanita yg usianya dibawah saya namun pengalaman hidupnya sangat beragam. Beberapa kali dia menghubungi sebelum ini dan beberapa kali juga dia mengejutkan saya dengan ceritanya. Bak roller coaster, hidupnya penuh akan lika liku yang pelik. Sekali saya pernah dengar ia bercerita tentang hidupnya yg terpuruk, sebulan kemudian dia bercerita tentang betapa suksesnya ia  menjadi pengajar di negeri seberang.

Maka sore itupun terasa istimewa. Kami habiskan dengan mendengarkan berbagai ceritanya tentang hidup, termasuk satu cerita yg selalu ia ulang sejak hampir sepuluh tahun yang lalu. Cerita yg entah sudah berapa kali ia ceritakan, namun tetap membuatnya melinangkan air mata. Cerita yg meskipun ia sedang dipasar yg penuh keramaian, ia tetap tidak bisa memendung kesedihan ketika ia mengingatnya. Cerita yg kerap membuat ia berhenti menyetir kendarannya dipinggir jalan, hanya untuk mengusap air mata yang tiba tiba datang. Dan sore itu sama seperti pertemuan kami sebelum sebelumnya. Ia pun menceritakan kisahnya.


***
"Seharusnya kamu jadi penulis"

Ucapan itu membuat Dian tertegun. Ia hanya bisa diam. Entah karena apa. Rasanya ada buncahan buncahan di dalam dirinya setelah ia mendengar kata kata itu. Tapi sekali lagi, ia tidak mengerti itu apa, sehingga ucapan itu hanya dianggap sebagai angin lalu. Ucapan itu keluar dari seorang Pria berbadan tegap, yang baru dikenalnya beberapa tahun terakhir. Seorang pria, yang pada akhirnya ia sebut sebagai papa.

Ucapan itu ia dengar beberapa bulan lalu. Dan sekarang papa sedang ada diujung telfon menanyakan kabarnya.

"Kamu ngapain aja. Kenapa ga selesai selesai skripsinya?", kata papa dengan cara bicara yg cepat melalui telfon.

"Iya ini lagi diselesain," jawab Dian ngasal karena pertanyaan ini adalah pertanyaan paling menyebalkan bagi siapapun yang sedang mengerjakan skripsi

"Terus kapan kamu mau nulisnya?"

"Nulis apa pa?"

"Ya apa aja yang bisa dibaca orang banyak."

"Iya ini lagi dibikin. Aq mau buat novel," jawab Dian ngasal.

"Ah kelamaan kalo itu. Saya keburu mati," jawaban papa yang lebih ngasal. Dian cuma bisa mengerenyitkan kening saat mendengarnya.

"Coba kamu buat yg sederhana dulu. Kan di koran ada tuh bagian untuk kolom mahasiswa. Coba tulis dulu disitu"

"Iya nanti dicoba"

"Yaudah ya. Saya nyelesain kerjaan saya dulu. Sehat sehat kamu disana. Ini kamu ngomong sama mama"

"Iya"

"Telfonpun diberikan ke mama"

"Papa sakit dian. Dari kemarin ga mau makan. Susah banget"

"Iya ma"

"Mama sampe jengkel. Disuruh makan aja susah"

"Yang sabar ya ma. Diciumin aja papanya mumpung bisa. Biar luluh. Hehhe"

"Hahahha bisa aja kamu. Yaudah kamu sehat sehat ya disana

"Iya ma. Mama juga ya. Makasih ya udah nelpon"

"Iya sama sama. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"


Lalu telfonpun ditutup. Dan Dian masih terdiam. Tapi buncahan buncahan itu kembali hadir. Entah itu apa. Buncahan yg sama ketika papa bilang Dian cocok jadi penulis. Buncahan yg sama yang saat ini menggerakan tangannya untuk mengambil secarik kertas dan pulpen, kemudian membuatnya menuliskan kata demi kata yg entah diapun tidak mengerti apa isinya. Yg jelas kini dihadapan dia sudah ada satu kertas berisi tulisan penuh dengan judul,"suara untuk negeri".

2 minggu berlalu sudah. Dian sudah lupa tentang tulisannya yg sempat ia kirimkan ke surat kabar waktu itu sesuai permintaan papa. Tulisan itu dia buat tanpa niat dan persiapan. Apa yang perlu ia harapkan. Saat itu ia hanya mengikuti letupan letupan dalam dirinya yang sampai sekarang ia masih belum paham itu apa. Apalagi saat ini dian sedang stuck dengan skripsinya.


"Sebelum kamu pergi ke seluruh perpustakaan diseluruh Indonesia untuk cari materi tentang judulmu ini, jangan kembali bimbingan ke saya," begitu kata dosen pembimbingnya.

"Huff," dian menarik nafas panjang. Dia memutuskan untuk mulai wisata perpustakaan demi skripsinya tersebut. Ia memilih untuk memulainya dari Jakarta, kota tempat terdekatnya saat ini karena sekarang ia tinggal di Bandung. Dan sore itu dian menelfon temannya untuk mencari tau bagaimana caranya mendapatkan akses ke perpustakaan  dikampus temannya itu.

"Kayaknya lo bisa langsung masuk aja deh. Cuma nulis data di buku tamu, tinggalin ktp sama bayar 5 rebu apa 10 rebu ya gue lupa"

"Seriusan gitu doang? Ga pake surat pengantar segala",

"Ga lah repot amat"

"Ya kali pake surat pengantar RT kaya orang mau nikah"

"Wkwkwk. Sekalian pake SKCK buat jaminan kalo lu ga bakalan nyolong buku nanti diperpus"

"Hahahhaha. Bisa aja lo"

"Be te we be te we. Selamat ya tulisan lo masuk koran. Akhirnya bisa juga gue baca tulisan lo"

"Hah? Koran mana?"

"Seputar Kota. Lah emang lo ga tau?"

"Seriusan? Ga tuh. Gw ga dpt pemberitahuan apa apa dari tim redaksinya"

"Wah masa sih? Parah tuh koran. Harusnya lo dikasi tau. Lo kan berhak dapet fee"

"Iya bener ga ada berita apa apa. Lo beneran baca tulisan gue?"

"Iya neng. Nama lo masih Dian Purnama kan? Tulisan lo judulny 'Suara untuk Negeri'kan?"

Dian menelan ludahnya. Sepertinya temannya sedang tidak bercanda. Judul yg ia katakan sama persis dengan judul yang ia tulis.

"Kapan itu waktunya?" tanya Dian

"Seminggu yang lalu. Gw inget banget soalnya gw lagi nunggu cewe gw diperpus buat ngasih kejutan ulangtaun buat dia. Tapi dia malah ga dateng dateng. Jadi gue iseng baca baca koran"

"Lu lagian ngasih kejutan ke cewe diperpus. Mana mau lah cewe lu"

"Ya namanya juga usaha. Gw pikir kan belum ada yg pernah ngasih kejutan diperpus ke cewenya. Lagian kalo ngasih kejutan diperpus lebih irit soalnya ga boleh bawa makanan"

"Wkwkwk. Asyeeeem. Bilang aja lo kere"

"Hahahha emang"


"Yaudah. Thanks ya infonya bro. Lain kali gue hubungi lagi"

"Never mind neng. Sehat sehat ya lu disana"

"Ok"

Dianpun langsung menutup telfonnya. Lupa sudah ia dengan segala hal tentang skripsinya. Diotaknya cuma satu. Mencari koran seminggu yang lalu.

***

Siang itu sedang panas panasnya. Dan sudah hampir seluruh kota ia putari. Toko demi toko. Loper demi loper. Tapi hasilnya nihil. Seminggu yang lalu waktu yg cukup panjang untuk sebuah toko menyimpan koran dagangannya. Jangankan seminggu, sehari saja koran sudah ditarik oleh distributornya untuk digantikan dengan koran yang baru. Dan kini harapannya cuma satu. Perpustakaan kampus. Biasanya setiap kampus menyimpan koran yang sudah dibaca. Dan kini dian sedang menuju kesana.

Ditapakinya satu demi satu tangga perpustakaan kampusnya. Hatinya terus berdoa koran yang ia maksud ada dibangunan ini. Setelah menaruh tasnya diloker, ia segera menuju keruangan tempat perpustakaan biasanya menaruh koran. Dari jauh terlihat beberapa koran menggantung seperti jemuran. Dilihatnya koran itu satu per satu.

Sial. Semua koran bertanggal sama. Yaitu tanggal hari ini. Pupus sudah harapan ia bisa menemukan tulisannya sendiri. Dengan langkah gontai, iapun pergi menghampiri petugas perpustakaan.

"Bu, maaf. Kalau koran seminggu yg lalu ada ga disini?"

"Koran apa neng?"

"Seputar kota"

"Ada. Disitu ibu taruh. Kalau yg dijembrengin mah emang koran yg hari ini aja. Tapi kalo yg lama lama ibu taruh disitu biar ga kebanyakan"


Setengah terperanjat Dian pun langsung mengucapkan terimakasi dan pergi menghampiri tempat yang ibu itu maksud. Dengan tergesa gesa ia cari satu persatu korannya dengan hati penuh harap.

Ada!!!

Koran dengan tanggal yang ia maksud ada. "Kali ini tinggal mencari rubriknya. Seharusnya ada dihalaman kedua,"batinnya.

Diaturnya nafas perlahan. Mempersiapkan diri kalau kalau ternyata ucapan kawannya salah. Kalau kalau bisa saja mata kawannya sedang katarak akibat banyak disumpahi mantan mantan pacarnya yang sering diberi kejutan kejutan aneh. Kalau kalau ternyata kawannya itu hanya mengerjainya saja.

Namun apa yang dilihat mengejutkan batinnya.

"Suara untuk Negeri oleh Dian Purnama". Dibacanya lekat lekat tulisan didepannya. Tak lupa ia lihat baik baik foto penulis rubrik ini. Ya! Kini ia bisa memastikan itu tulisan dirinya. Kawannya tidak salah. Maka langsung dengan cepat dibawanya koran tersebut ke bagian fotokopi. Saking senangnya entah kenapa ia hanya memotokopi satu kali.

"Papa pasti senang melihatnya," batinnya bersorak penuh riang.


Tiba tiba suara pesan singkat berbunyi di hp nya.

"Neng. Papa masuk rumah sakit. Kata dokter besok harus operasi karena keadaannya semakin buruk. Mama"

(Bersambung)

#ceritabintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...