Minggu, 02 April 2017

Hikmah dari Melati

Hikmah dari Melati

Kata orang, ambilah hikmah dari siapapun. Sebagai pembelajaran. Sebagai pengalaman. Maka inilah kisah dari kawan saya. Selamat meneguk hikmahnya...

Sebut saja namanya Melati. Lahir di era 80an. Sebagai anak wanita yg lahir di era tersebut, ia dibebaskan dari segala macam pekerjaan domestik. Tidak perlu cuci piring, cuci baju, nyuapin adek, nyapu, ngepel, apalagi masak. "Kamu cukup belajar. Sekolah yang pinter. Nanti kalau sudah besar jadi pegawai. Dapat uang gaji tetap setiap bulan. Angkat harkat martabat keluarga," begitu kata orangtuanya.

Maka sejak saat itu, tugas melati hanya megang buku, pensil, komputer, laptop dan sebagainya. Dadah bye bye pada segala macam peralatan rumah seperti sapu, pengepel, panci, penggorengan beserta seperangkat alat dapur lainnya". Apalagi peralatan berkebun yg banyak kotor kotoran. Melati hampir tidak pernah menyentuhnya. Kegiatan melati hampir bisa dipastikan. Pagi sekolah. Siang les. Malam ngerjain pe er. Pagi berangkat sekolah lagi. Kalo libur, melati capek berkegiatan, jadi ya tiduran aja dirumah. Paling paling jalan sama cowo atau kawan kawannya ngadem di mall sekali sekali.

Apa ayah ibu marah? Tentu tidak. Karena nilai melati selalu bagus disekolah. "Tugas kamu belajar aja biar nilai nilainya bagus. Selama nilainya bagus, seluruh pekerjaan ini biar kami yg bereskan," begitu kata orangtuanya yg diamini dengan cepat oleh Melati.

Namanya melati. Yg lahir di era 80an. Di era itu sedang gencar gencarnya sesuatu yg bernama emansipasi. Melati pun ikut kena imbasnya. "Jangan mau kalah sama laki laki. Kalau laki laki bisa olahraga, kamu juga bisa. Kalau laki laki bisa jadi ranking 1, kamu juga bisa. Kalau laki laki bisa jadi insinyur, kamu juga bisa. Jangan mau kalah," begitu kata ayahnya melati.

Namanya melati. Yg lahir di era 80an. Di era itu juga era optimisme yg tinggi. "Semua pasti bisa. Kamu pasti bisa," begitu kata orangtua melati. "Sekarang orang sudah bisa ke bulan, bisa terbang, bisa buat robot. Kalau orang bisa, kamu juga pasti bisa," begitu ayahnya menambahkan. Dan memang itu pula yang dialami melati. Sejak sd, smp, sma, melati selalu jadi juara kelas. Ia tidak hanya berhasil mengalahkan teman teman perempuannya, tapi juga teman laki lakinya. Bukan cuma itu, melati juga berhasil kuliah diuniversitas ternama dan lulus dengan predikat cumlaude. Ah hal ini memang mudah bagi melati. Karena sejak awal logikanya sudah terlatih. Maka hal hal yg berkaitan dengan penalaran atau logika hanya menjadi kunyahan semata baginya.

Belum selesai disitu kecemerlangan melati, lepas kuliah melati mendapatkan pekerjaan yang enak. Membawahi banyak karyawan, pria maupun wanita. Punya gaji tetap bulanan seperti cita cita keluarganya. Sempurnanya hidup Melati...

Lalu tibalah melati memasuki gerbang pernikahan. Dengan analisanya yg mendalam, jatuhlah pilihan Melati pada seorang pria. Tanya sana sini, browsing sana sini. Ok done. Sepertinya mudah.

Namun melati sedang tidak sadar, bahwa dia sedang memasuki episode awal yang sangat berbeda. Dunia pernikahan membuat dia merasakan apa yg namanya rentetan kegagalan, sesuatu yg belum pernah dia cicipi sebelumnya. Hampir seluruh teori yg telah ia pelajari dan praktekan berbanding terbalik dengan apa yg dia jalani di periode ini. Melati kaget bahwa untuk sukses menjalani perannya sebagai istri , ia hanya perlu melakukan 1 hal, "mentaati perintah suami". Sederhana. Tidak banyak. Namun menjadi sangat sulit untuk dipahami, apalagi dijalankan oleh melati.

Setelah sekian lama ia mengalahkan banyak pria untuk menjadi juara kelas, setelah sekian banyak laki laki yg menjadi bawahannya dalam dunia kerja, setelah sekian lama secara tidak langsung ia menjadikan laki laki sebagai kompetitornya, kini ia harus meletakan itu semua atas dasar kepatuhan pada suami. What? Ini sungguh diluar logika melati.

"Aq benar benar ga paham mba. Kenapa bagiku susah sekali untuk memahami logika suamiku. Kenapa? Rasanya aq tak tahan lagi. Semua yg kulakukan selalu salah dimatanya," kata melati sambil terisak.

Malam itu, saya biarkan ia mengalirkan semua rasa. Semua yang ia punya. Mencoba menghayati setiap kata yang dia ucapkan. Tidak ada yg salah sebenarnya dari sikap optimisme yg ditanamkan ke dalam dirinya. Setiap orang berhak berlomba lomba untuk mencapai kemuliaan, baik pria dan wanita. Namun mungkin keluarga melati lupa mempersiapkan bahwa cara mencapai kemuliaan antara perempuan dan laki laki itu berbeda ketika mereka sudah menikah. Bagi laki laki, mereka diberi cobaan sebagai pemimpin. Diberi kesempatan untuk mendapatkan ketaatan dari istri untuk menguji apakah ia amanah sebagai suami atau tidak. Apakah ia pemimpin yg adil atau tidak. Apakah dia  bersedia mengantarkan dan membimbing anak serta istrinya ke syurga atau tidak. Sedangkan cobaan kepada istri ada diketaatannya. Bisakah seorang istri taat terhadap setiap permintaan suami selama permintaan itu tidak melanggar agama? Bukan sekedar karena apa yg diperintahkan suami masuk akal atau tidak, namun karena ia yakin Ridho Allah akan ia dapat ketika ia menaati suaminya. Seperti Siti Hadjar yg ditinggalkan nabi Ibrahim dipadang pasir dengan seorang bayi, dan ia menurutinya karena ia yakin itu adalah perintah Allah. Seandainya Siti Hadjar hanya memakai logika, maka tidak ada satu logikapun yg bisa memahami mengapa seorang suami meninggalkan anak dan bayinya dipadang pasir yg tandus, tanpa diberitahu kapan ia akan kembali. Namun ketika ia yakin bahwa ketaatannya akan membawa berkah, maka iapun melakukan hal tersebut.

Tidak ada yg salah dengan optimisme yang diajarkan kepada melati. Semua bisa. Semua pasti bisa dikerjakan. Namun mungkin keluarga melati lupa bahwa hal tersebut bisa terjadi dengan satu syarat utama, yaitu *jika Tuhan menginjinkan*. Syarat utama ini yang membuat setiap sikap optimisme menjadi tidak menimbulkan luka jika harus menemui kegagalan. Karena pada dasarnya org yg menyadari syarat utama ini hanya akan menyerahkan hasil akhir dari setiap usahanya kepada Allah. Bahwa berhasil atau tidaknya itu hak prerogatif dari Allah, dan tugas ia hanya berusaha, sehingga ia akan bisa menghadapi kekecewaan dengan aman.

Saya hembuskan nafas sekali lagi. Sementara melati masih terisak dipelukan. Sungguh, apa yg diajarkan kepada melati  hanya memiliki sedikit kekurangan, yaitu tidak menyandarkan nilai nilai keagamaan sebagai titik dasarnya. Namun, ternyata hal tersebut menimbulkan efek yg besar dalam kehidupan melati. Seperti sekarang saat ia memikirkan untuk mengakhiri pernikahannya.

Kini, saya belum tau bagaimana kabar melati. Setelah pertemuan saat itu, ia pamit keluar kota untuk menenangkan diri. Dia merasa memang ada sesuatu yg salah dalam dirinya. Dan dia sedang mencari tau itu. Semoga setelah ini ada kabar baik dari dirinya. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...