Rabu, 31 Januari 2018

Drama Korea: Goblin (Hikmah 4 Belajar Mengandalkan Diri Sendiri)


Di cerita ini, Goblin sangat kaya. Gubuk tempat ia tinggal zaman dulu sekarang sudah jadi hotel bintang 5. Perusahaannyapun banyak. Dia juga bisa merubah sesuatu menjadi emas. Sementara itu, kondisi pengantinnya berbanding terbalik. Ia datang dari keluarga miskin dan yatim piatu sejak kecil.
.
Walaupun Goblin kaya, tapi pengantinnya ini tidak hanya mengandalkan Goblin dan leyeh-leyeh. Dia masih masak, beresin rumah, cuci baju, bahkan bekerja paruh waktu demi bisa membiayai hidupnya sendiri.
.
Saat ujian masuk Universitaspun, ia tetap belajar sendiri. Meskipun ada adegan ia meminta kunci jawaban dari Goblin, namun pada akhirnya ia tetap belajar dan mengandalkan dirinya sendiri. Dan hal ini yng membuatnya lulus dengan baik serta menjadi produser suatu acara radio suatu saat nanti.
.
Bayangkan kalau ia hanya mengandalkan Goblin, mungkin ia hanya bisa lulus te masuk universitas, tapi tidak mrmiliki kualitas sebagai mahasiswa universitas. Hal ini tentu saja akn menyulitkannya ketika ia beradaptasi dengan kehidupan universitas. Apalagi saat itu, ada adegan dimana Goblin harus mati.
.
Karakter yang seperti ini sama seperti karakter wanita utama di film Descendants of the Sun. Yaitu karakter dimana ketika ia mengalami kesulitan, ia tidak lantas larut dalam kesulitan tersebut, namun berusaha menyibukan diri dengan terus meningkatkan kualitas dirinya.
.
Dalam hidup ini, hal tersebutpun berlaku. Sebaiknya kita perlu belajar untuk hanya mengandalkan diri sendiri, bukan orang lain. Walaupun orang tersebut adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kita, misalnya orangtua atau suami.
.
.
Dari buku antologi berjudul "Rainbow" yang diangkat dari kisah nyata para single mom, ada beberapa cerita dimana perceraian terjadi ketika sang ibu baru saja 3 bulan melahirkan. Dan di dunia nyata, saya juga menemui beberapa orang yang mengalami perceraian saat ia hamil. Dari sana saya belajar bahwa walau bagaimanapun, tidak ada jaminan seseorang yang dekat dengan kita akan selalu bersikap baik. Yang paling tidak bisa mengecewakan di dunia ini hanyalah Tuhan. Maka berusahalah untuk mengandalkan diri sendiri dan hanya berharap pada kebaikan Tuhan.

Drama Korea: Goblin (Hikmah 3: Belajar Menghargai Kepergian Orang untuk Selamanya)


Hikmah 3: Belajar Menghargai Kepergian Seseorang untuk Selamanya
.
Dalam setiap kehidupan, Goblin selalu punya orang kepercayaan yang berupa manusia biasa. Dan selayaknya manusia, mereka pasti meninggal. Menyisakan Goblin yang hanya bisa sedih setiap kali peristiwa ini datang karena ia tidak bisa mati.
.
Saat Goblin sudah bertemu pengantinnya, orang kepercayaan Goblin di kehidupan itu juga meninggal. Goblin tentu saja sedih. Namun kata-kata dari pengantinnya ini menguatkan dia:
.
"Saat kita ditinggal meninggal oleh orang lain, berusahalah untuk tidak selalu sedih dan tetaplah hidup dalam bahagia. Karena dengan cara itu kita menghormati kebaikan dirinya".
.
Saya sendiri pernah mengalami hal ini. Seminggu sebelum saya sidang skripsi, orang yang penting bagi saya dipanggil yang Maha Kuasa. Ambruk? Tentu saja. Apalagi kelulusan saya adalah sesuatu yang sudah dinantikan banyak orang. Termasuk beliau. Dan saat itu rasanya saya tidak punya semangat lagi untuk melanjutkan proses sidang.
.
Saat secara emosional saya ambruk, saya tetap berusaha datang ke kampus. Dan disana Tuhan menolong saya. Waktu itu ada kang @temaulana yang sedang ada di kantor jurusan. Saya yang sedang membutuhkan teman dan menganggap beliau sebagai kakak, langsung menumpahkan semua perasaan yang ada di hati.
.
Dengan tenang, beliau mengeluarkan kata-kata ini,  sesuatu yang masih sangat saya ingat hingga sekarang:
.

  • "Jika keberadaan seseorang membuat kamu bersemangat untuk melakukan sesuatu yang baik, maka jadikanlah ketidakberadaannya sebagai pecutan agar kamu tetap melakukan sesuatu yang baik itu".
    .
    Terimakasih Kang @temaulana for the quote. You save my day. Semoga keberkahan selalu menyertai kehidupan Kang @temaulana😊

Rabu, 24 Januari 2018

Drama Korea: Goblin (Hikmah 2: Belajar Konsekuensi dari Doa yang Dikabulkan)


Di film ini, saya semakin sadar bahwa Tuhan Maha Baik. Ia selalu mengabulkan permintaan hamba-hambaNya. Hanya saja keterbatasan akal manusia seringkali tidak bisa menyadari hal ini. . Di film ini, malaikat maut yang dibuat lupa akan identitas dirinya sendiri, berusaha untuk mencari tahu kembali tentang hal tersebut. Ia betul-betul merasa penasaran dan melakukan segala cara untuk mengetahuinya. Dan iapun meminta "Sang Penguasa" untuk mengembalikan ingatannya. Hingga di suatu episode, "Sang Penguasa" tersebut berkata yang kurang lebih seperti ini: "Manusia memang aneh. Dulu dia minta ingatannya dihapus karena tidak tahan mengingat dosanya sendiri. Sekarang, ia minta ingatannya dikembalikan karena ingin tahu dosa apa yang dulu ia pernah lakukan".
.
.
Dari kisah ini saya belajar, seringkali kita tidak siap menerima konsekuensi dari doa yang dikabulkan. Misal seseorang berdoa ingin suami tampan. Setelah dikabulkan, ia merasa kewalahan karena suami yang tampan memiliki banyak selingkuhan. Atau misalnya seseorang berdoa ingin  suami kaya. Setelah dikabulkan, ia tidak tahan menerima konsekuensi bahwa suaminya selalu bekerja dan tidak ada dirumah. Atau seseorang berdoa ingin suami shaleh, tapi ia tidak tahan ketika selalu dibangunkan untuk shalat malam atau menerima keputusan bahwa suaminya ingin berpoligami. Atau ketika seseorang meminta suami yang tampan, shaleh, pintar, kaya, hanya mencintai dirinya, tidak berpoligami, sayang anak, perhatian, lalu ia tidak tahan karena Tuhan memberikan dia suami yang brengsek. Padahal Tuhan memberikan suami seperti itu agar ia mendapatkan suami dengan tipe yang dia inginkan. Yang mana, suami semacam itu hanya ada di Syurga. Dan sebagai cara untuk mendapatkannya, maka Tuhan memberikan suami yang brengsek agar menjadi ladang pahala untuk dia dan dia bisa masuk Syurga. .
.
.
Contoh lain yang lebih jelas ada di novel "Bidadari untuk Dewa" yang diangkat dari kisah nyata. Disana diceritakan kalau istrinya Dewa dan ibunya tidak pernah akur. Ibunya merasa bahwa menantunya adalah pembawa sial. Karena setelah beberapa hari menikah, Dewa langsung terlilit hutang 8 miliar. Oleh karena itu, ibunya melakukan berbagai cara agar mereka berpisah. Termasuk mencarikan dewa wanita lain dan meminta ia bercerai dengan istrinya, tepat di muka istrinya tersebut. Melihat situasi ini, istrinya tentu saja sedih. Walau bagaimanapun, mertuanya adalah single mom yang sudah berjuang habis-habisan membesarkan dewa sendiri. Istrinya inipun selalu berdoa agar ia dan mertuanya menjadi akur.
.
.
Lalu, apakah Tuhan mengabulkannya? Ya. Tuhan mengabulkannya. Tapi dengan cara Dia karena Dia selalu tahu yang terbaik. Setelah begitu banyak pengorbanan istrinya, Dewa justru dibuat gelap mata dan selingkuh dengan "Gadis Apel". Situasi ini memang membuat marah istrinya. Tapi juga membuat marah ibunya. Ibunya Dewa memang meminta Dewa untuk mencari wanita lain, tapi tidak dengan cara selingkuh. Karena dulu dengan cara itulah ayah dewa meninggalkan ibunya dan Dewa. . See. Tuhan Maha Baik. Dia sesungguhnya mengabulkan doa kita semua. Seperti dalam cerita di atas, Tuhan mengabulkan  doa istrinya Dewa dengan cara menggelapkan mata Dewa untuk selingkuh karena Tuhan tahu hanya isu tentang perselingkuhan yang bisa membuka mata hati ibunya terhadap kebaikan istri Dewa.

Drama Korea: Goblin (Hikmah 1: Belajar Menerima Hukuman)


Dicerita ini dijelaskan bahwa Goblin dan malaikat maut sedang menjalankan hukuman dari "Sang Penguasa". Saya lupa tepatnya kenapa Goblin dihukum (duh ga banget deh 😅). Seingat saya karena sebagai panglima perang, Goblin sudah membunuh banyak orang. Sedangkan malaikat maut dihukum karena dulu ia adalah seorang raja yang tidak adil.
.
.
Tidak tanggung-tanggung. Mereka dihukum selama ratusan tahun dan tidak diberitahu kapan hukumannya akan berakhir. Sampai-sampai, disuatu episode Goblin pernah berkata sesuatu yang kurang lebih seperti ini: . "Aku menunggu saat dimana Sang Penguasa berkata,'Kau sudah menjalankan hukuman dengan baik. Sekarang waktunya aku mencabut hukumanmu'." . Sayapun mencoba menyelami kata-kata ini. Seandainya saya menjadi mereka, bagaimana perasaan saya? Menjalani suatu hukuman dalam waktu yang lama dan entah sampai kapan. Ingin berontak tapi tidak bisa. Kondisi yang sudah sangat sulit kita temui saat ini.
.
.
Ya, menurut saya, sekarang kita hidup di jaman dimana hitam dan putih terasa sangat samar. Segala hal punya pembenaran. Bahkan ketika seseorang melakukan sesuatu yang betul-betul salah, masih saja ada pihak yang membenarkan. Sehingga situasi ini membuat kita lebih memilih untuk reaktif menyalahkan orang lain, dibandingkan berdiam diri merenungi kesalahan apa yang sudah kita lakukan, baru mengambil keputusan.
.
.
Padahal, tidak mungkin ada manusia yang tanpa salah. Di semua konflik yang kita alami, pasti ada andil kesalahan dari diri kita sendiri. Sekecil apapun itu. . Hanya saja, untuk mengetahui dimana letak kesalahan kita, dibutuhkan keterbukaan diri untuk bersedia duduk sejenak merenungi dimana letak kesalahan tersebut.
.
.
Seperti menyembuhkan sebuah luka, yang perlu kita lakukan adalah "menyelami" diri kita sendiri untuk tahu dimana sebetulnya luka itu dan bagaimana cara menyelesaikannya. . Karena sebetulnya segala permasalahan hidup ada solusinya. Tapi seringkali ketika ada masalah, kita malah lebih sering berlari kesana kemari, berteriak ini dan itu, dibandingkan duduk diam berusaha mendengarkan apa yang ingin Tuhan sampaikan.
.
.
Dan bagi saya, cerita kedua tokoh ini yang dengan sabar menerima hukuman mereka selama ratusan tahun, menginspirasi saya untuk tetap tenang dalam menjalani masalah. Ibarat rumus ketenangan 478 (selengkapnya silahkan baca disinihttp://namasayaernawati.blogspot.co.id/2018/01/belajar-ketenangan-melalui-rumus-478.html?m=1 ), posisi mereka seperti ada di tahap 7. Menahan diri. Sesuatu yang sudah sangat sulit dilakukan di era serba cepat dan penuh akan pembenaran seperti sekarang.

Kamis, 18 Januari 2018

Drama Korea Goblin: Bukan Sekedar Cerita Cinta Anak SMA (part 1)



Saya pecinta drama Korea. Tapi tidak semua drama Korea bisa saya tamatkan dalam waktu singkat. Dan setelah melakukan pengamatan, hanya drama-drama korea yang memiliki makna hidup yang mendalam yang bisa termasuk dalam kategori ini.

Sebelum menjelaskan mengapa drama Korea berjudul Goblin ini memiliki makna hidup yang dalam, saya akan ceritakan sedikit sinopsisinya (Awas spoiler) agar bisa tergambar kenapa saya bisa mengambil kesimpulan tersebut.

Sinopsis
Cerita ini mengisahkan seorang panglima perang yang mendapatkan hukuman dari “Sang Penguasa” sehingga ia tidak bisa meninggal karena ada pedang “ajaib” yang tertusuk di badan dia. Pedang tersebut hanya bisa dilihat dan dicabut oleh seorang “Pengantin Goblin”, seorang wanita yang ia cintai.

Dan disinilah konfliknya. Di satu sisi, panglima ini senang karena bisa menemukan cinta sejatinya. Apalagi ia perlu menunggu 900 tahun untuk bertemu. Tapi disisi lain, wanita itu satu-satunya orang yang bisa membuat dia meninggal. Sesuatu yang sangat dia inginkan. Karena bagi panglima tersebut, hidup abadi bukanlah suatu kenikmatan. Ia lelah harus menyaksikan orang-orang yang ia sayangi meninggal satu per satu, sementara ia sendiri terus hidup. Bagai buah simalakama, ia harus memilih salah satu dari kenyataan tersebut.
.
Hal yang samapun di rasakan oleh pengantin Goblin itu. Disatu sisi, ia sangat senang bisa menemukan kekasih sejatinya dan bertekad akan melakukan apapun demi kebahagiaan pujaan hatinya itu. Tapi disisi lain, kebahagiaan sejati kekasihnya akan terwujud ketika ia menarik pedang dan membuat kekasihnya itu meninggalkan dia selamanya.

Huff… pilihan yang sulit bukan?

Tokoh lain yang ada dalam film ini adalah seorang anak muda yang menjadi raja sekaligus adik ipar dari panglima tersebut. Raja ini sejak kecil di asuh oleh penasehat kerajaan yang jahat sehingga ia sering dicekoki paham-paham yang tidak baik. Tujuannya agar ia menjadi raja yang jahat dan penasehat itu dapat dengan mudah merebut tahta kerajaan.

Hal inipun terbukti. Saat dia menjadi raja, ia terhasut oleh penasehatnya dan menganggap panglima sebagai sebagai pengkhianat. Kehadiran panglima memang dianggap ancaman bagi penasehat kerajaan. Apalagi ia adalah kakak ipar dari raja itu. Dan disinilah konflik kembali terjadi.

Sebagai seorang Raja, ia meminta istrinya untuk memilih, dirinya atau kakaknya. Demi cinta, istrinya lebih memilih suaminya karena ia tahu suaminya tidak jahat. Ia hanya menjadi gelap mata karena hasutan orang lain. Lalu , di hadapan istrinya sendiri, Raja memfitnah panglima sebagai pengkhianat dan memerintahkan orang untuk membunuh panglima tersebut. Dan istrinyapun ikut terbunuh dalam kejadian ini.
.
Konflik antara raja dan istrinya ini juga tak kalah seru. Pada kehidupan-kehidupan selanjutnya (karena mereka percaya dengan yang namanya reinkarnasi), mereka selalu dihadapkan oleh masalah yang sama. Sang raja meragukan kesetiaan istrinya dan selalu memintanya untuk memilih, dirinya atau orang lain. Dan istrinya selalu memilih untuk setia kepada suaminya. Walaupun pada akhirnya ia harus meninggal demi menjaga kesetiaannya. Tragis ya *terus jadi mewek

Karena kesalahannya ini, akhirnya raja tersebut dihukum oleh “Sang Penguasa”. Segala ingatan tentang identitas diri dia dihapus dan dia menjadi malaikat pencabut nyawa yang hidup panjang.

(Bersambung)

Selasa, 16 Januari 2018

Belajar Ketenangan Melalui Rumus “478”



Tahun kemarin saya belajar tentang meditasi. Alasannya karena saya merasa bahwa hidup tidak hanya belajar tentang berlari, namun juga belajar tentang bagaimana cara kita berhenti.
Sebagai ibu-ibu jaman now dengan segala macam aktivitasnya , saya memilih meditasi yang sifatnya sederhana, menyenangkan dan bisa membawa efek rileks. Setelah surfing kemana-mana, akhirnya saya bertemu dengan teknik relaxing meditation yang saya beri label “478”.
Kenapa saya memberi label itu? Karena rumus “478” ini berhubungan dengan proses dari meditasi yang saya lakukan. Tekniknya sangat sederhana. Saya hanya perlu duduk nyaman, menengadahkan kepala ke atas, dan memosisikan pundak saya serileks mungkin. Setelah itu, tarik nafas sebanyak 4 hitungan, tahan nafas sebanyak 7 hitungan, dan hembuskan nafas secara perlahan selama 8 hitungan. Lakukan ini hingga beberapa kali. Dan bagi saya, hal ini sangat membantu saya untuk merasa tenang.
Lalu saya berpikir, mengapa saya hanya diperbolehkan mengambil nafas selama 4 hitungan, lalu menahannya hingga 7 hitungan? 2 kali dari apa yang saya ambil? Dan terlebih lagi, saya perlu melepasnya secara perlahan-lahan hingga butuh 8 hitungan? Jadi perbandingan antara total saya mengambil nafas dengan menahan dan melepasnya sebanyak 1:4. Perbandingan yang terlihat tidak adil bukan? Tapi, kenapa itu membuat saya tenang?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa saya ke alam refleksi lebih jauh. Sayapun berusaha menganalogikan rumus 478 dengan kehidupan sehari-hari. Jika dianalisa, proses pengambilan nafas ini seperti menuntut atau mendapatkan sesuatu dari. Lalu menahan nafas bisa diibaratkan dengan menahan diri dari apapun, baik dari rasa marah, rasa kesal, impulsive buying, dan segala hal yang sifatnya pemuasan diri. Lalu pelepasan nafas bisa dianalogikan dengan banyaknya kita memberi. Jika di analogikan dengan rumus 478, artinya untuk mendapatkan ketenangan, maka kita hanya perlu mendapatkan 4 hitungan, menahan diri sebanyak 7 hitungan, dan memberi atau melepas sebanyak 8 hitungan. Dengan kata lain, ketenangan akan kita dapatkan jika kita menuntut lebih sedikit dibandingkan menahan diri dan memberikan sesuatu kepada orang lain.
Saya sendiri sudah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Suprisingly, it really works for me. Ketika saya merasa sudah mendapatkan sesuatu, maka saya akan berpikir kalau ini saatnya saya menahan diri untuk sesuatu. Dan periodenya tentu lebih lama dibandingkan dengan apa yang saya dapatkan.
Untuk fase 8, saya punya 2 persepsi disana. Persepsi pertama adalah tentang memberi. Artinya dalam kehidupan, ketenangan akan kita dapatkan ketika kita lebih banyak memberi dibandingkan menuntut sesuatu dari lingkungan.
Versi kedua adalah tentang bagaimana cara melepas atau mengungkapkan keinginan. Saat saya belajar teknik melepas nafas selama 8 hitungan, artinya saya perlu melakukanya secara perlahan-lahan. Tidak terburu-buru. Begitupun dalam kehidupan sehari-hari. Ketika saya perlu melepas emosi-emosi negatif dalam diri saya, maka saya perlu melakukannya secara perlahan. Tidak terburu-buru dan meledak-ledak. Karena saya yakin setiap orang punya sisi negatif dan itu manusiawi. Hanya caranya saja yang perlu dipercantik agar emosi negatif itu justru membangun. Dan melepaskannya secara perlahan, adalah salah satu hal yang tepat menurut saya agar rasa tenang tetap kita dapatkan selama proses mengalirkan rasa negatif tersebut.
Well, itu dia sedikit tips dari saya. Selamat mencoba :)

Rabu, 10 Januari 2018

Belajar Percaya



Hari itu hari Jum’at. Dan jam menunjukan pukul 9 pagi. Sejak semalam, hujan turun tidak henti-henti. Tepatnya sudah 3 hari ini hujan selalu turun. Membuat anak-anak Mia tidur siang lebih cepat.
Sementara Mia, tetap terjaga karena pikirannya. Terbayang tawaran dari mantan bosnya kemarin, dan juga uang bulanannya yang kini hanya tersisa 50 ribu rupiah, padahal hari itu masih tanggal 15. masih jauh dari tanggal gajian. Beruntung ia dan Rendi tipe keluarga yang menyetok bahan makanan sehingga Mia tidak perlu terlalu khawatir. Ia juga sudah melunasi semua tagihan-tagihan di awal bulan.
Mia kembali melihat ke arah jendela. Didengarnya suara rintikan hujan yang bersahut-sahutan. Diiringi bau tanah yang khas karena disiram air hujan.
“Ah, mengapa suasana belakangan ini mendukung hatiku. Sendu. Seakan-akan mengerti apa yang aku rasakan,” kata Mia dari balik jendela.
Di jalan depan rumahnya, Mia meilhat seorang pria tua sedang mendorong gerobak es berwarna hijau. Atap kecil di atas tempat ia mendorong membuatnya terbebas dari hujan. Namun, badannya tetap basah karena air hujan yang terbawa angin dan cipratan air dari roda gerobaknya. Dipundaknya tergantung handuk kecil berwarna putih. Sesekali ia mengelap mukanya yang kebasahan memakai handuk itu.
“Ya Tuhan. Apa yang membawa dia tetap berjualan es meski tahu bahwa hari hujan?,” Mia bergumam sendiri.
Dilihatnya bapak tua itu memarkir gerobak di teras rumah depan Mia. Rumah di depan rumah Mia memang tak berpagar sehingga semua orang bisa masuk. Orangnyapun hanya sebulan sekali datang karena dinas di luar kota.
Mia mengamati bapak tua tersebut. Rasa lelah terlihat menghiasai wajahnya. Berkali-kali ia mengusap pipinya dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya. Sesekali ia melihat langit yang makin hari makin gelap. Seolah-olah tidak memberi kesempatan bagi matahari untuk muncul lagi hari ini. Tak lama, ia menopang wajahnya dengan tangan sambil menatap kosong rintik hujan.
“Kasian bapak itu. Apa yang ia pikirkan sekarang?,” Mia masih memperhatikan bapak tua itu dari balik jendela. Ia menduga mereka berdua memiliki pikiran yang sama. Mana ada orang yang membeli es saat hujan begitu deras. Dan cuaca sepertinya tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa cerah akan datang.
Mia kemudian pergi ke kamarnya. Merogoh satu-satunya uang lima puluh ribuan yang ia punya. Ini uang terakhir yang dia miliki untuk sebulan ini. Namun setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk membeli es bapak tua tersebut.
“Apa yang terjadi, terjadilah. Setidaknya kami masih punya persediaan makanan yang mencukupi. Sementara bapak itu belum tentu punya,” pikir Mia.
Lagipula, kalau sampai ia tetap berjualan walaupun hujan begini, pastilah karena dia punya keluarga yang harus dinafkahi, “ Mia bergumam pelan. Meyakinkan dirinya untuk mempergunakan sisa uang terakhirnya.
Mia melangkahkan kaki secara perlahan agar kedua anaknya tidak terbangun. Setelah mengambil payung, Mia pergi keluar rumah dan menghampiri tukang es tersebut.
“Pak beli esnya pak. Ini es doger ya?”
Setengah kaget, bapak tua itupun langsung mengelap wajahnya dan beranjak dari tempat duduk.
“Ah iya neng. Berapa bungkus?”
“Satu aja pak dibungkus”
“Iya neng,” katanya singkat sambil sigap menyendok satu per satu isi es dogernya.
“Kayaknya saya baru liat bapak lewat sini”, kata Mia membuka percakapan.
“Iya neng biasanya saya lewat gang sebelah. Tapi tadi lagi ditutup karena ada yang mau nikahan. Jadi saya muter lewat sini”, kata bapak itu sambil sibuk menyendok isi es dogernya.
“Oh gitu. Apa rumah bapak dekat sini?” tanya Mia lagi.
“Lumayan lah neng. Sekitar 5 kilometer dari sini”
“Wah lumayan lah ya pak. Bapak rajin pagi-pagi udah jualan. Padahal hari hujan,”
“Iya neng. Tadi juga sempet ragu mau berangkat apa ga. Udah tiga hari ini hujan terus. Tapi ah bapak pikir rezeki mah ga bakalan kemana. Yang penting kita berusaha aja. Siapa tahu nanti siang panas,” ujar bapak tua itu sambil terus mengerjakan es yang dipesan Mia.
 “Iya ya pak. Harus yakin rezeki ga akan kemana kalau kita mau berusaha,”
“Iya neng. Kata anak saya gitu, ga boleh nyerah, yang penting berusaha,” tiba-tiba Bapak itu terdiam sebentar.
“Wah bapak punya anak? Usia berapa?”
“Ada neng. Usia 15 tahun. Sudah besar”, bapak itu langsung tersadar dari lamunannya dan menjawab pertanyaan Mia.
“Iya sudah besar ya. Sudah remaja. Udah mulai susah diatur ya pak kalau anak remaja,” kata Mia dengan maksud bercanda.
“`Iya neng. Sudah besar neng kalau dia masih ada. Tapi sekarang udah dipanggil sama Gusti Allah,” bapak tua itu berkata dengan nada berat.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Maaf saya tidak tahu pak. Semoga anak bapak diterima disisiNya dan bapak sekeluarga diberi kesabaran”
“Iya gapapa neng. Anak saya itu kena talasemia1). Setiap bulan harus transfusi darah di rumah sakit. Tiap bulan badannya harus di suntik. Saya sedih ngeliatnya. Tapi dia ga pernah nyerah neng. Sampai terakhir dia masih ada, dia tetep minta ke rumah sakit biar sembuh,”
“Hm…,” Mia mengangguk mendengarkan penjelasan bapak itu. Ia cukup mengerti tentang talasemia karena sepupu Mia ada yang memiliki penyakit yang sama.
Dia tuh ga gampang nyerah neng. Bapak sampai malu kadang sama dia. Dari kecil udah ditinggal ibunya gara-gara dia penyakitan. Tapi dia tetep aja ceria. Kadang suka nemenin bapak jualan. Kadang suka nyemangatin bapak. Kadang bapak sendiri yang sedih. ‘gusti, anak sekecil ini cobaannya udah banyak’. bapak suka ngebatin gitu”.
“Dia tetep ceria walau menghadapi banyak cobaan dari kecil ya pak.”, Mia mencoba memuji anaknya, berharap agar bapak tua itu sedikit terhibur..
“Iya neng. Saya malah yang sering sedih ngeliat dia. Dia mah malah ga pernah sedih. Cuma sekali sedih pas tau penyakitnya karena keturunan. Waktu itu ada temennya yang ngasih tahu dia, tapi ga bilang-bilang sama bapak dulu. Seharian dia ga mau makan. Ga mau keluar kamar. Kaget kayaknya pas dia tau penyebab sakit dia. Langsung itu mah saya sujud ke kaki dia. Minta maaf. Saya bilang ke dia saya juga ga mau ngasih penyakit kayak gitu. Tapi mau dibilang apa lagi. Namanya udah takdir kita ga bisa nolak,”
Mia terdiam mendengarkan. Sambil menepuk pundak bapak itu pelan-pelan.
“Iya neng. Tapi Alhamdulillah lama-lama dia ngerti.. Dia malah yang nasehatin saya biar saya ga ngerasa bersalah. Dia bilang saya harus tetep yakin kalau dia bakalan sembuh. Dan ternyata bener neng. Dia sembuh, tapi di syurga. Seminggu kemudian Tuhan ngambil dia,” air mata keluar dari wajahnya yang sudah mulai keriput. Sepertinya apa yang ia ceritakan barusan benar-benar menyentuh sisi emosinya.
“Sejak itu bapak janji ga akan pernah nyerah neng. Demi anak bapak. Anak bapak aja ga pernah nyerah sampai akhir hidup dia. Makanya bapak tetep jualan hari ini,” bapak tua itu melanjutkan ceritanya sambil memasukan es doger yang sudah selesai ia buat ke plastik.
“Ini neng udah selesai,” katanya sambil memberikan es doger ke Mia.
“Oh iya pak. Terima kasih,” Mia mengambil es doger tersebut dan langsung merogoh saku. Diambilnya selembar uang 50 ribuan yang ia miliki. Dipandangnya uang tersebut cukup lama, sampai akhirnya ia memutuskan untuk memberikan semuanya kepada bapak tua itu.
“Ini pak. Semuanya untuk bapak,”
“Banyak banget neng, harganya cuma 8 ribu.”
“Gapapa pak. Itu rezeki bapak,”
“Tapi neng. Saya jualan. Bukan minta-minta”
“Iya pak. Saya tahu. Gapapa, itu rezeki bapak. Ambil pak. Jangan ditolak”
“Ya Allah, makasih neng,” kata bapak itu sambil tertunduk. Air mata mengalir dari wajahnya. Namun ia sembunyikan dengan terus menunduk dan mengelap wajahnya dengan handuk.
“Ga perlu terima kasih pak. Uang lebih itu emang rezeki bapak kok. Cuma dititipkan sama saya aja sebentar”, kata Mia menghibur hatinya.
“Bukan neng. Saya sedih bukan karena uang ini. Tapi karena neng udah bikin bapak percaya lagi,” iapun berkata sambil terisak.
Percaya lagi?”
“Iya. Percaya lagi. Tadinya bapak udah mau nyerah. Udah ga mau berangkat. Udah 3 hari ini bapak ga dapet pelanggan. Hampir bapak ga ngelaksanain janji bapak ke anak bapak. Hampir bapak mau nyerah. Tapi gara-gara neng, bapak jadi percaya lagi. bahwa rezeki udah ada yang ngatur. Tugas kita cuma berusaha aja. Biar gusti Allah yang ngatur”, katanya sambil masih terisak.
Mia perlahan-lahan menepuk pundak bapak tua itu. Membiarkannya mengalirkan semua rasa dari hatinya.
“Sekali lagi saya makasih sama neng. Makasih banyak”, bapak tua itu mencoba tegar dan menghentikan tangisnya.
“Iya pak sama-sama. Saya juga terima kasih bapak sudah percaya untuk cerita sama saya. Semoga dagangan bapak laris ya,” Mia berusaha menghiburnya.
“Aamiin. Semoga rezeki neng juga berlimpah. Diangkat semua kesusahannya. Diperlancar segala urusannya,” doa mengalir deras dari mulut bapak tua itu. Tulus dan dari hati.
“Aamiin. Makasih banyak ya pak. Saya pamit ke rumah dulu. Takut anak-anak saya bangun. Bapak hati-hati di jalan ya”
“Iya neng makasih banyak. Makasi banyak”
“Sama-sama pak”, jawab Mia sambil tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kaki menuju rumahnya. Hari itu cuaca memang dingin karena rintikan hujan yang tiada henti. Namun, hati Mia terasa hangat.

Note: cerita ini merupakan salah satu bagian dari novel "Ibu Biasa"

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...