Senin, 08 Januari 2018

Wanita Kuat. Siapakah Dia?


Saat saya masih kecil, pertanyaan ini mudah saya jawab. Sebagai anak pertama dan memiliki orangtua dengan latar belakang militer, maka setidaknya dibawah ini beberapa kriteria seorang wanita yang kuat:
1. Wanita yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi di kelas, mengalahkan semua teman-temannya, baik pria maupun wanita.
2. Wanita yang memiliki jabatan dan gaji yang besar, sehingga bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, baik pria maupun wanita.
3. Wanita yang berhasil mengalahkan siapapun lawannya dalam pertandingan bela diri, baik pria maupun wanita.

Ya, tumbuh di jaman dimana isu kesetaraan gender sedang santer digaungkan, maka saya merasa seolah-olah ada persaingan antara pria dan wanita. Dan menariknya, saya tidak sendiri. Sebagian besar orang yang lahir dan tumbuh di era yang sama dengan saya juga merasakan hal itu.

Ketika saya dewasa dan masuk ke dunia pernikahan, maka jawaban dari pertanyaan inipun menjadi samar. Wanita yang kuat, siapakah dia?

1. Apakah wanita yang memiliki pendidikan lebih tinggi dari suaminya? Walau ada pasangan yang merasa tidak masalah dengan kondisi ini, namun tidak sedikit yang menjadikan kondisi ini sebagai sumber perpecahan
2. Apakah wanita yang bisa memimpin jalannya keluarga? Mereka bilang laki-lakilah pemimpin. Dan tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu keluarga
3. Apakah wanita yang bisa memukul orang lain? Really?

Belum selesai menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya juga dihadapkan tentang pertanyaan yang sama, namun dikalangan para wanita sendiri. Wanita yang kuat, siapakah dia?

1. Apakah wanita yang memutuskan untuk lahir secara normal? Atau operasi caesar?
2. Apakah wanita yang full memberikan asi selama 2 tahun? Atau susu formula?
3. Apakah wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga? Atau ibu bekerja?

Pertanyaan-pertanyaan ini, mengingatkan saya pada perkataan dosen saya tempo hari,

"Salah satu perbedaan fisiologis paling mendasar antara pria dan wanita adalah dititipkannya rahim ditubuh wanita. Dan alam rahim ini adalah alam pemeliharaan atau perawatan. Itu alasannya mengapa wanita identik dengan makhluk yang lemah lembut dan penyayang, bahkan saat mengerjakan tugas-tugas yang 'kasar' seperti menyuci motor atau memukul orang saat keselamatannya terancam. Nah, insting sebagai seorang pemelihara inilah yang menjadi kekuatan seorang wanita sebenarnya".

Menurut saya, penjelasan dosen saya ini menarik untuk dicermati. Karena saya yakin setiap makhluk punya cara beradaptasi yang berbeda-beda. Dan faktor fisiologis yang mereka miliki berpengaruh terhadap bagaimana ia bertahan hidup. Seorang singa menjadi kuat ketika dia mengaum. Tapi bagi bunglon, kekuatannya justru diam ketika ia sedang menyamar.
Begitupun antara pria dan wanita. Barbara Pease & Allan Pease dalam bukunya Why Men Dont Listen and Women Can’t Read Map mengatakan bahwa perbedaan perilaku antara wanita dan pria juga disebabkan karena perbedaan fisiologis otaknya. Otak pria dibuat sebagai visioner. Mereka memandang jauh ke depan. Karena mereka "terbentuk" sebagai seorang pemburu. Sementara otak wanita dibuat sebagai "penjaga gua". Cara berpikirnya melihat ke samping sehingga ia bisa mengamati apa yang sedang terjadi di sekitarnya.
Berbekal pengetahuan dan keyakinan inilah, maka saya menginterrpretasikan bahwa salah satu fitrah wanita adalah sebagai pemelihara dan perawat. Dan mengimplementasikannya dalam kehidupan saya sehari-hari dengan beberapa perilaku sebagai berikut:
1. Ketimbang mendikte tentang apa yang perlu suami saya lakukan, saya memilih untuk membiarkan suami saya berada di depan, mengambil segala keputusan tentang keluarga kami. Sementara saya memilih untuk menempatkan diri di belakangnya. Memastikan segala hal yang dia perlukan ketika "berburu" tercukupi.
2. Ketimbang mengganti atau membeli barang baru, saya memilih untuk merawat dan memperbaiki barang yang sudah ada. Bukan hanya karena saya yakin bahwa fitrah saya adalah seorang pemelihara dan perawat, namun juga sebagai tanda terima kasih dan bentuk tanggung jawab saya terhadap pemberi barang tersebut.
3. Ketimbang menuntut anak-anak untuk bisa seperti orang lain, saya lebih memilih untuk merenungi lebih dalam tentang hal-hal positif yang mereka miliki, dan merawat serta menumbuhkan fitrah yang dititipkan kepada mereka.
4. Ketimbang mengomentari dan menghakimi wanita lain atas keputusannya, apapun itu, saya lebih memilih memahami kondisi apa yang melatarbelakanginya. Karena saya yakin, setiap orang memiliki pertimbangan masing-masing. Dan sebagai orang yang berada diluar lingkaran kehidupannya, akan lebih bijak jika kita berusaha memahami rangkaian peristiwa secara utuhdibandingkan menghakiminya hanya karena secuil tingkah laku yang tampak.

Apakah mudah? Tentu tidak.
Sebagai manusia biasa, suami sayapun pernah melakukan salah. Dan mengatakan bahwa "Kamu salah. Aku tidak mau berada di belakangmu lagi" jauh lebih mudah dibandingkan menerima kesalahannya dengan lapang dada.
Sebagai orang yang hidup di zaman dimana harga barang baru sama dengan harga memperbaiki barang yang sudah rusak, maka saya lebih terampil membuang barang yang rusak dibandingkan merawat atau memperbaikinya.
Sebagai seorang ibu yang hidup di zaman intenet, dimana lebih mudah bagi saya untuk mengakses info tentang banyak hal, maka membandingkan perkembangan anak sendiri dengan perkembangan anak lain menjadi suatu hal yang sulit untuk dihindari.
Sebagai individu yang terbiasa mengasah logika lewat teori-teori disekolah, maka saya lebih terampil menganalisa masalah dengan sudut pandang benar atau salah. Hitam atau putih. Iya atau tidak.

Namun saya yakin, sebagai makhluk yang dititipkan rahim, saya percaya saya bisa melakukannya. Maka, sayapun berusaha melakukan hal-hal ini:

Semakin besar keinginan saya untuk mengambil alih tugas suami dalam pengambilan keputusan, semakin besar usaha saya untuk tetap berada di belakangnya dan berusaha menciptakan suasana yang nyaman agar ia bisa lebih efektif dalam pengambilan keputusan.
Semakin besar keinginan saya untuk memiliki barang-barang yang baru, semakin besar keinginan saya untuk merawat semua yang sudah saya miliki.
Semakin besar keinginan saya untuk membentuk anak menjadi seperti yang saya inginkan, semakin keras usaha saya untuk berusaha mendiamkan ego saya agar saya bisa mendengarkan fitrah apa yang sebenarnya sudah mereka punya.
Semakin besar keinginan saya untuk mengomentari dan menyindir pilihan hidup orang lain, maka semakin besar keinginan saya untuk mengintrospeksi diri saya sendiri.

Dan apa yang terjadi? Ternyata, disanalah saya merasa keajaibanpun datang.
Suami saya menganggap saya sebagai wanita yang kuat, karena sanggup menerima dia dalam segala keadaan dan tetap bersedia berada di dekatnya meski badai datang menghadang.
Saya pribadi merasa kuat. Karena tidak lagi mudah terbawa arus keinginan. Kesederhanaan yang saya tanamkan dalam diri ternyata berbuah ketenangan. Dan membuat saya menjadi lebih tepat dalam pengambilan keputusan.
Anak-anak saya menganggap saya kuat. Karena melihat saya bersedia menerima mereka secara utuh. Rengekannya, tangisannya, permintaannya, tidak hanya senyum dan segala keindahannya. Meskipun mereka masih balita, tapi saya bisa melihat kalau mereka menganggap saya seperti itu. Karena mereka tahu, sebesar apapun kesulitan yang mereka hadapi, saya menerima mereka secara tulus.
Kawan-kawan saya melihat saya sebagai wanita kuat. Karena jika tidak ditanya, saya memilih untuk tidak mengomentari pilihan hidup mereka. Saya lebih memilih untuk “berbicara” dengan mereka lewat perilaku saya dalam menjalani kehidupan saya sendiri.
Jadi, wanita yang kuat, siapakah dia? Pendapat saya, dia adalah yang menjalankan fitrahnya sebagai pemelihara dan perawat.
Kalau pendapat kamu bagaimana?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...