Rabu, 10 Januari 2018

Belajar Percaya



Hari itu hari Jum’at. Dan jam menunjukan pukul 9 pagi. Sejak semalam, hujan turun tidak henti-henti. Tepatnya sudah 3 hari ini hujan selalu turun. Membuat anak-anak Mia tidur siang lebih cepat.
Sementara Mia, tetap terjaga karena pikirannya. Terbayang tawaran dari mantan bosnya kemarin, dan juga uang bulanannya yang kini hanya tersisa 50 ribu rupiah, padahal hari itu masih tanggal 15. masih jauh dari tanggal gajian. Beruntung ia dan Rendi tipe keluarga yang menyetok bahan makanan sehingga Mia tidak perlu terlalu khawatir. Ia juga sudah melunasi semua tagihan-tagihan di awal bulan.
Mia kembali melihat ke arah jendela. Didengarnya suara rintikan hujan yang bersahut-sahutan. Diiringi bau tanah yang khas karena disiram air hujan.
“Ah, mengapa suasana belakangan ini mendukung hatiku. Sendu. Seakan-akan mengerti apa yang aku rasakan,” kata Mia dari balik jendela.
Di jalan depan rumahnya, Mia meilhat seorang pria tua sedang mendorong gerobak es berwarna hijau. Atap kecil di atas tempat ia mendorong membuatnya terbebas dari hujan. Namun, badannya tetap basah karena air hujan yang terbawa angin dan cipratan air dari roda gerobaknya. Dipundaknya tergantung handuk kecil berwarna putih. Sesekali ia mengelap mukanya yang kebasahan memakai handuk itu.
“Ya Tuhan. Apa yang membawa dia tetap berjualan es meski tahu bahwa hari hujan?,” Mia bergumam sendiri.
Dilihatnya bapak tua itu memarkir gerobak di teras rumah depan Mia. Rumah di depan rumah Mia memang tak berpagar sehingga semua orang bisa masuk. Orangnyapun hanya sebulan sekali datang karena dinas di luar kota.
Mia mengamati bapak tua tersebut. Rasa lelah terlihat menghiasai wajahnya. Berkali-kali ia mengusap pipinya dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya. Sesekali ia melihat langit yang makin hari makin gelap. Seolah-olah tidak memberi kesempatan bagi matahari untuk muncul lagi hari ini. Tak lama, ia menopang wajahnya dengan tangan sambil menatap kosong rintik hujan.
“Kasian bapak itu. Apa yang ia pikirkan sekarang?,” Mia masih memperhatikan bapak tua itu dari balik jendela. Ia menduga mereka berdua memiliki pikiran yang sama. Mana ada orang yang membeli es saat hujan begitu deras. Dan cuaca sepertinya tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa cerah akan datang.
Mia kemudian pergi ke kamarnya. Merogoh satu-satunya uang lima puluh ribuan yang ia punya. Ini uang terakhir yang dia miliki untuk sebulan ini. Namun setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk membeli es bapak tua tersebut.
“Apa yang terjadi, terjadilah. Setidaknya kami masih punya persediaan makanan yang mencukupi. Sementara bapak itu belum tentu punya,” pikir Mia.
Lagipula, kalau sampai ia tetap berjualan walaupun hujan begini, pastilah karena dia punya keluarga yang harus dinafkahi, “ Mia bergumam pelan. Meyakinkan dirinya untuk mempergunakan sisa uang terakhirnya.
Mia melangkahkan kaki secara perlahan agar kedua anaknya tidak terbangun. Setelah mengambil payung, Mia pergi keluar rumah dan menghampiri tukang es tersebut.
“Pak beli esnya pak. Ini es doger ya?”
Setengah kaget, bapak tua itupun langsung mengelap wajahnya dan beranjak dari tempat duduk.
“Ah iya neng. Berapa bungkus?”
“Satu aja pak dibungkus”
“Iya neng,” katanya singkat sambil sigap menyendok satu per satu isi es dogernya.
“Kayaknya saya baru liat bapak lewat sini”, kata Mia membuka percakapan.
“Iya neng biasanya saya lewat gang sebelah. Tapi tadi lagi ditutup karena ada yang mau nikahan. Jadi saya muter lewat sini”, kata bapak itu sambil sibuk menyendok isi es dogernya.
“Oh gitu. Apa rumah bapak dekat sini?” tanya Mia lagi.
“Lumayan lah neng. Sekitar 5 kilometer dari sini”
“Wah lumayan lah ya pak. Bapak rajin pagi-pagi udah jualan. Padahal hari hujan,”
“Iya neng. Tadi juga sempet ragu mau berangkat apa ga. Udah tiga hari ini hujan terus. Tapi ah bapak pikir rezeki mah ga bakalan kemana. Yang penting kita berusaha aja. Siapa tahu nanti siang panas,” ujar bapak tua itu sambil terus mengerjakan es yang dipesan Mia.
 “Iya ya pak. Harus yakin rezeki ga akan kemana kalau kita mau berusaha,”
“Iya neng. Kata anak saya gitu, ga boleh nyerah, yang penting berusaha,” tiba-tiba Bapak itu terdiam sebentar.
“Wah bapak punya anak? Usia berapa?”
“Ada neng. Usia 15 tahun. Sudah besar”, bapak itu langsung tersadar dari lamunannya dan menjawab pertanyaan Mia.
“Iya sudah besar ya. Sudah remaja. Udah mulai susah diatur ya pak kalau anak remaja,” kata Mia dengan maksud bercanda.
“`Iya neng. Sudah besar neng kalau dia masih ada. Tapi sekarang udah dipanggil sama Gusti Allah,” bapak tua itu berkata dengan nada berat.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Maaf saya tidak tahu pak. Semoga anak bapak diterima disisiNya dan bapak sekeluarga diberi kesabaran”
“Iya gapapa neng. Anak saya itu kena talasemia1). Setiap bulan harus transfusi darah di rumah sakit. Tiap bulan badannya harus di suntik. Saya sedih ngeliatnya. Tapi dia ga pernah nyerah neng. Sampai terakhir dia masih ada, dia tetep minta ke rumah sakit biar sembuh,”
“Hm…,” Mia mengangguk mendengarkan penjelasan bapak itu. Ia cukup mengerti tentang talasemia karena sepupu Mia ada yang memiliki penyakit yang sama.
Dia tuh ga gampang nyerah neng. Bapak sampai malu kadang sama dia. Dari kecil udah ditinggal ibunya gara-gara dia penyakitan. Tapi dia tetep aja ceria. Kadang suka nemenin bapak jualan. Kadang suka nyemangatin bapak. Kadang bapak sendiri yang sedih. ‘gusti, anak sekecil ini cobaannya udah banyak’. bapak suka ngebatin gitu”.
“Dia tetep ceria walau menghadapi banyak cobaan dari kecil ya pak.”, Mia mencoba memuji anaknya, berharap agar bapak tua itu sedikit terhibur..
“Iya neng. Saya malah yang sering sedih ngeliat dia. Dia mah malah ga pernah sedih. Cuma sekali sedih pas tau penyakitnya karena keturunan. Waktu itu ada temennya yang ngasih tahu dia, tapi ga bilang-bilang sama bapak dulu. Seharian dia ga mau makan. Ga mau keluar kamar. Kaget kayaknya pas dia tau penyebab sakit dia. Langsung itu mah saya sujud ke kaki dia. Minta maaf. Saya bilang ke dia saya juga ga mau ngasih penyakit kayak gitu. Tapi mau dibilang apa lagi. Namanya udah takdir kita ga bisa nolak,”
Mia terdiam mendengarkan. Sambil menepuk pundak bapak itu pelan-pelan.
“Iya neng. Tapi Alhamdulillah lama-lama dia ngerti.. Dia malah yang nasehatin saya biar saya ga ngerasa bersalah. Dia bilang saya harus tetep yakin kalau dia bakalan sembuh. Dan ternyata bener neng. Dia sembuh, tapi di syurga. Seminggu kemudian Tuhan ngambil dia,” air mata keluar dari wajahnya yang sudah mulai keriput. Sepertinya apa yang ia ceritakan barusan benar-benar menyentuh sisi emosinya.
“Sejak itu bapak janji ga akan pernah nyerah neng. Demi anak bapak. Anak bapak aja ga pernah nyerah sampai akhir hidup dia. Makanya bapak tetep jualan hari ini,” bapak tua itu melanjutkan ceritanya sambil memasukan es doger yang sudah selesai ia buat ke plastik.
“Ini neng udah selesai,” katanya sambil memberikan es doger ke Mia.
“Oh iya pak. Terima kasih,” Mia mengambil es doger tersebut dan langsung merogoh saku. Diambilnya selembar uang 50 ribuan yang ia miliki. Dipandangnya uang tersebut cukup lama, sampai akhirnya ia memutuskan untuk memberikan semuanya kepada bapak tua itu.
“Ini pak. Semuanya untuk bapak,”
“Banyak banget neng, harganya cuma 8 ribu.”
“Gapapa pak. Itu rezeki bapak,”
“Tapi neng. Saya jualan. Bukan minta-minta”
“Iya pak. Saya tahu. Gapapa, itu rezeki bapak. Ambil pak. Jangan ditolak”
“Ya Allah, makasih neng,” kata bapak itu sambil tertunduk. Air mata mengalir dari wajahnya. Namun ia sembunyikan dengan terus menunduk dan mengelap wajahnya dengan handuk.
“Ga perlu terima kasih pak. Uang lebih itu emang rezeki bapak kok. Cuma dititipkan sama saya aja sebentar”, kata Mia menghibur hatinya.
“Bukan neng. Saya sedih bukan karena uang ini. Tapi karena neng udah bikin bapak percaya lagi,” iapun berkata sambil terisak.
Percaya lagi?”
“Iya. Percaya lagi. Tadinya bapak udah mau nyerah. Udah ga mau berangkat. Udah 3 hari ini bapak ga dapet pelanggan. Hampir bapak ga ngelaksanain janji bapak ke anak bapak. Hampir bapak mau nyerah. Tapi gara-gara neng, bapak jadi percaya lagi. bahwa rezeki udah ada yang ngatur. Tugas kita cuma berusaha aja. Biar gusti Allah yang ngatur”, katanya sambil masih terisak.
Mia perlahan-lahan menepuk pundak bapak tua itu. Membiarkannya mengalirkan semua rasa dari hatinya.
“Sekali lagi saya makasih sama neng. Makasih banyak”, bapak tua itu mencoba tegar dan menghentikan tangisnya.
“Iya pak sama-sama. Saya juga terima kasih bapak sudah percaya untuk cerita sama saya. Semoga dagangan bapak laris ya,” Mia berusaha menghiburnya.
“Aamiin. Semoga rezeki neng juga berlimpah. Diangkat semua kesusahannya. Diperlancar segala urusannya,” doa mengalir deras dari mulut bapak tua itu. Tulus dan dari hati.
“Aamiin. Makasih banyak ya pak. Saya pamit ke rumah dulu. Takut anak-anak saya bangun. Bapak hati-hati di jalan ya”
“Iya neng makasih banyak. Makasi banyak”
“Sama-sama pak”, jawab Mia sambil tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kaki menuju rumahnya. Hari itu cuaca memang dingin karena rintikan hujan yang tiada henti. Namun, hati Mia terasa hangat.

Note: cerita ini merupakan salah satu bagian dari novel "Ibu Biasa"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...