Senin, 08 Mei 2017

Pola Asuh (bagian 2)

Lantas, pengorbanan seperti apakah yang perlu dilakukan orangtua?

Seorang psikolog bernama Winnicott mengemukakan bahwa seorang anak membutuhkan “pengorbanan yang biasa” dari orangtuanya. Hm, apa itu pengorbanan yang biasa? Kalau
yang saya pahami, pengorbanan yang biasa adalah pengorbanan yang dilakukan oleh orangtua, namun tidak membuat orangtua jatuh atau rusak seketika, kecuali memang dalam situasi yang sangat amat berbahaya, misalnya dalam kondisi perang. Contoh pengorbanan yang biasa adalah ketika seorang ayah menyempatkan bermain kuda-kudaan walaupun sudah lelah bekerja, atau memberikan jaket kepada anaknya dan membiarkan dirinya kedinginan ketika sedang pergi malam-malam, atau seorang ibu yang bangun setiap jam 3 pagi demi menyiapkan sarapan anak-anaknya. Pengorbanan-pengorbanan seperti ini mungkin akan membuat para orangtua sedikit lelah, namun tidak sampai jatuh seketika. Pengorbanan yang tidak termasuk pengorbanan biasa misalnya ketika ada orangtua yang menjual seluruh rumah dan harta bendanya demi membayar hutang hutang anak akibat anaknya sering judi sehingga orangtuanya harus tinggal dipinggir jalan. Pengorbanan seperti ini bukan termasuk pengorbanan yang dimaksud oleh winnicot karena ini membuat orangtua berada dalam kondisi jatuh seketika dan belum masuk dalam kondisi berbahaya karena sebenarnya si anak masih bisa bekerja lebih giat untuk melunaskan hutangnya sendiri.
Menurut saya, pengorbanan yang biasa ini pula yang sering dilakukan oleh beberapa working mom yang memperhatikan kesejahteraan anaknya sehingga meskipun para working mom ini tidak memiliki banyak waktu dengan anaknya, tapi mereka tetap punya kualitas hubungan yang baik dengan anak.


Kontrol
Saya tidak akan banyak membahas tentang kontrol disini. Bukan karena saya merasa kontrol itu tidak perlu, tapi karena saya merasa sudah banyak yang membahasnya diluar sana sehingga saya tidak mau membebani pembaca karena merasa,”ya ampun ini ga boleh itu ga boleh. Padahal saya juga manusia… atuhlah plis…”. maaf saya lebay. Hehhe.

Menurut saya, landasan mutlak pemberian kontrol adalah agama. Mengapa? Jawabannya sederhana.
Jika anda membeli kipas angin, lalu anda diberi dua buku petunjuk, yang pertama buku petunjuknya ditulis oleh pembuat kipas angin, yang kedua ditulis oleh kipas anginnya itu sendiri. Mana yang lebih anda percaya?

Kalau saya pribadi, tentu saja dari si pencipta kipas angin. Dan bagi saya, agama adalah petunjuk yang dituliskan Tuhan sebagai pencipta kita. Sama seperti analogi kipas angin di atas. Oleh karena itu, jika anda menemukan perbedaan pendapat tentang pola asuh, maka kembalikanlah kepada agama. Walaupun misalnya jawaban dari agama tersebut terlihat kurang logis, pelajarilah lagi ajaran agama tersebut lebih lanjut hingga anda yakin. Contoh dalam buku yang kita review kemarin, ada penjelasan bahwa kita tidak boleh memberikan hukuman fisik sama sekali, apapun alasannya. Tapi sebagai muslim, dengan cara yang benar tentunya, kita boleh memukul anak yang berumur 10 tahun jika ia tidak mau shalat. Tentu saja sekali lagi cara memukulnya harus sesuai dengan ketentuan agama Islam ya, yaitu dari sejak usia 7 tahun anak sudah diperintahkan untuk shalat. Artinya anak sudah diberi waktu 3 tahun untuk terbiasa shalat. Pukulan yang dilakukan pun ada aturannya, yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah, hindari memukul wajah, pukulan tidak lebih dari sepuluh kali, bertujuan untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman dihadapan umum kecuali jika dibutuhkan, misalnya banyaknya anak yang tidak mau shalat atau semacamnya.

Sekilas, ketentuan ini tampak tidak manusiawi, mengajari kekerasan, dan sebagainya. Tapi percayalahan bahwa Tuhan tidak pernah salah dalam menuliskan ketentuan karena Ia pencipta kita. Dan berbesar hatilah bahwa memang ada hal-hal yang tidak bisa kita pahami secara kasat mata karena keterbatasan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, sekali lagi kembalikanlah kepada agama. Cari tau lebih banyak boleh, namun setelah itu jangan lupa lakukan filterisasi sesuai dengan agama, kebudayaan dan ciri khas pribadi kita.



Semakin banyak tau semakin bingung
Jika anda mengalami hal di atas, berarti anda berada di track yang benar. Itulah mengapa anak dikatakan sebagai terapis paling baik untuk menyembuhkan kita. Karen sejatinya, hubungan antara kita dengan anak berlangsung secara terus menerus, dan selama itu pula, kita sama sama sama saling “mengobati”. Memiliki anak akan menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia tempat salah dan lupa, manusia yang selalu memperbaiki diri, manusia yang selalu berjuang. Untuk itu, jangan pernah merasa cukup. Teruslah bergerak, teruslah belajar. Karena hanya dengan itu kita akan terus mendapatkan keseimbangan. Jika lelah, istirahatlah sejenak, namun jangan berhenti. Karena hakikatnya kita adalah makhluk hidup, dan fitrahnya yang hidup adalah bergerak, dan yang diam hanya benda mati.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...