“Uh,
aku kesal! Tim sepakbola kita kalah lagi. Andai aku bisa membuat gol lebih
banyak,” Roni mengeluh sambil menghempaskan badannya di kursi.
“Tenang
Roni. Kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Kalau kita berlatih lebih
giat, pasti kita menang,” Bimo berusaha meredakan kegundahan sahabatnya itu.
“Terima
kasih ya Bim, kamu memang sahabatku,” Roni menepuk pundak Bimo.
“Tentu
saja. Kita kan sudah berteman sejak lama. Sudah tugas kita untuk saling menyemangati,”
kata Bimo sambil tersenyum.
“Oia,
terima kasih juga ya kamu hari ini mau menemaniku mengerjakan tugas matematika
bersama. Tapi ngomong-ngomong, dimana ya tasku?” kata Roni sambil mencari-cari
ke sekeliling kamar.
“Sepertinya
tertinggal di ruang tamu,” Bimo mencoba mengingat-ngingat.
“Aha!
Kau betul. Ibuuuuu, tolong bawakan tas aku ke kamar ya!” teriakan Roni membuat
Bimo menutup kupingnya. Suaranya yang keras membuat telinga Bimo kesakitan.
“Ya
ampun Roni. Apa kamu selalu berteriak seperti itu pada ibumu?” Tanya bimo
keheranan.
“Tidak
selalu sih. Hanya kadang-kadang saja. Terutama kalau barang-barangku tertinggal
di lantai bawah. Aku malas harus turun lagi dari kamarku yang ada di lantai dua
ini. Memangnya ada apa Bim?”
“Setahuku,
kita harus berbicara dengan lemah lembut kepada orangtua kita. Bahkan, kitapun
tidak boleh berkata ‘ah’ kepada mereka”
“Loh,
memangnya kenapa?”, tanya Roni keheranan.
“Nih,
aku coba praktekan ya,” kata Bimo sambil mendekatkan mulutnya ke arah telinga
Roni.
“Roniiiii,
tolong ambilkan tasku dong!” Teriak Bimo tepat di kuping Roni.
“Aduh,
sakit tahu”, Roni berkata sambil mengusap-usap kupingnya.
“Ya
seperti itulah rasanya kalau kita diteriaki oleh orang lain. Selain lebih
berisik, kita juga merasa kaget karena mendengar suara yang keras. Makanya,
lebih asyik kalau kita berbicara dengan lemah lembut. Dan begitulah adab ketika
berbicara dengan orangtua,” jelas Bimo kepada Roni.
“Begitu
ya,” Roni tersipu malu, “Tapi aku malas kalau harus berkata pelan-pelan. Karena
artinya aku harus ke bawah. Capek tahu! Lebih enak kalau langsung berteriak
seperti tadi”, Roni kembali mengemukakan alasan.
“Iya
sih. Tapi lebih keren lagi kalau kamu menggunakan kakimu untuk berjalan ke
bawah. Selain lebih berpahala, otot-otot kaki kamu juga akan lebih kuat karena
terbiasa naik turun tangga. Dan itu akan bermanfaat untuk membuatmu
menjadi penyerang sepak bola yang
hebat”.
“Ah
kamu benar juga ya. Aku ingin sekali menjadi penyerang sepak bola andalan
sekolah kita”, mata Roni berbinar-binar membayangkan dirinya menjadi bintang di
setiap pertandingan.
“Nah
itu. Coba kamu latihan dari sekarang. Jangan lupa untuk tetap berbuat baik
dengan ayah dan ibumu agar mereka ikut mendoakan cita-citamu. Termasuk mulai
belajar untuk berkata lemah lembut kepada mereka.”
“Baiklah.
Mulai hari ini, aku akan coba untuk tidak teriak lagi.
“Nah
gitu dong”
“Assalamu’alaikum.
Ini ibu bawakan makanan untuk kalian,” kata Ibu sambil memasuki kamar Roni.
“Ibuuuuu”,
peluk roni kepada ibunya.
“Ada
apa sayang?” Ibu tampak terheran-heran dengan perilaku Roni yang tiba-tiba
memeluk dirinya.
“Maafkan
aku ya bu tadi berteriak minta dibawakan tas kepada ibu. Aku berjanji tidak
akan mengulanginya,” kata Roni sambil mengangkat tangannya di kening seperti
orang yang sedang hormat.
“Hm…
sepertinya ibu tadi tidak mendengar teriakanmu karena sedang membeli makanan
ini. Tapi ibu senang akhirnya kamu berjanji untuk tidak teriak lagi kepada
ibu,” jawab ibu sambil tersenyum.
“Iya
bu, Bimo yang memberitahuku untuk berkata lemah lembut kepada ibu,” kata Roni
sambil menunjuk sahabatnya.
“Wah
terima kasih bimo. Tante doakan semua cita-cita kalian dikabulkan oleh Tuhan,”
Ibu mengangkat jempolnya ke arah Bimo.
“Aamin.
Terima kasih tante,” jawab Bimo malu-malu.
Dan
kemudian, merekapun menyantap makanan yang disediakan oleh ibu Roni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar