Jumat, 17 Agustus 2018

Cerita Anak: Berbicara dengan Lemah Lembut


“Uh, aku kesal! Tim sepakbola kita kalah lagi. Andai aku bisa membuat gol lebih banyak,” Roni mengeluh sambil menghempaskan badannya di kursi.
“Tenang Roni. Kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Kalau kita berlatih lebih giat, pasti kita menang,” Bimo berusaha meredakan kegundahan sahabatnya itu.
“Terima kasih ya Bim, kamu memang sahabatku,” Roni menepuk pundak Bimo.
“Tentu saja. Kita kan sudah berteman sejak lama. Sudah tugas kita untuk saling menyemangati,” kata Bimo sambil tersenyum.
“Oia, terima kasih juga ya kamu hari ini mau menemaniku mengerjakan tugas matematika bersama. Tapi ngomong-ngomong, dimana ya tasku?” kata Roni sambil mencari-cari ke sekeliling kamar.
“Sepertinya tertinggal di ruang tamu,” Bimo mencoba mengingat-ngingat.
“Aha! Kau betul. Ibuuuuu, tolong bawakan tas aku ke kamar ya!” teriakan Roni membuat Bimo menutup kupingnya. Suaranya yang keras membuat telinga Bimo kesakitan.
“Ya ampun Roni. Apa kamu selalu berteriak seperti itu pada ibumu?” Tanya bimo keheranan.
“Tidak selalu sih. Hanya kadang-kadang saja. Terutama kalau barang-barangku tertinggal di lantai bawah. Aku malas harus turun lagi dari kamarku yang ada di lantai dua ini. Memangnya ada apa Bim?”
“Setahuku, kita harus berbicara dengan lemah lembut kepada orangtua kita. Bahkan, kitapun tidak boleh berkata ‘ah’ kepada mereka”
“Loh, memangnya kenapa?”, tanya Roni keheranan.
“Nih, aku coba praktekan ya,” kata Bimo sambil mendekatkan mulutnya ke arah telinga Roni.
“Roniiiii, tolong ambilkan tasku dong!” Teriak Bimo tepat di kuping Roni.
“Aduh, sakit tahu”, Roni berkata sambil mengusap-usap kupingnya.
“Ya seperti itulah rasanya kalau kita diteriaki oleh orang lain. Selain lebih berisik, kita juga merasa kaget karena mendengar suara yang keras. Makanya, lebih asyik kalau kita berbicara dengan lemah lembut. Dan begitulah adab ketika berbicara dengan orangtua,” jelas Bimo kepada Roni.
“Begitu ya,” Roni tersipu malu, “Tapi aku malas kalau harus berkata pelan-pelan. Karena artinya aku harus ke bawah. Capek tahu! Lebih enak kalau langsung berteriak seperti tadi”, Roni kembali mengemukakan alasan.
“Iya sih. Tapi lebih keren lagi kalau kamu menggunakan kakimu untuk berjalan ke bawah. Selain lebih berpahala, otot-otot kaki kamu juga akan lebih kuat karena terbiasa naik turun tangga. Dan itu akan bermanfaat untuk membuatmu menjadi  penyerang sepak bola yang hebat”.
“Ah kamu benar juga ya. Aku ingin sekali menjadi penyerang sepak bola andalan sekolah kita”, mata Roni berbinar-binar membayangkan dirinya menjadi bintang di setiap pertandingan.
“Nah itu. Coba kamu latihan dari sekarang. Jangan lupa untuk tetap berbuat baik dengan ayah dan ibumu agar mereka ikut mendoakan cita-citamu. Termasuk mulai belajar untuk berkata lemah lembut kepada mereka.”
“Baiklah. Mulai hari ini, aku akan coba untuk tidak teriak lagi.
“Nah gitu dong”
“Assalamu’alaikum. Ini ibu bawakan makanan untuk kalian,” kata Ibu sambil memasuki kamar Roni.
“Ibuuuuu”, peluk roni kepada ibunya.
“Ada apa sayang?” Ibu tampak terheran-heran dengan perilaku Roni yang tiba-tiba memeluk dirinya.
“Maafkan aku ya bu tadi berteriak minta dibawakan tas kepada ibu. Aku berjanji tidak akan mengulanginya,” kata Roni sambil mengangkat tangannya di kening seperti orang yang sedang hormat.
“Hm… sepertinya ibu tadi tidak mendengar teriakanmu karena sedang membeli makanan ini. Tapi ibu senang akhirnya kamu berjanji untuk tidak teriak lagi kepada ibu,” jawab ibu sambil tersenyum.
“Iya bu, Bimo yang memberitahuku untuk berkata lemah lembut kepada ibu,” kata Roni sambil menunjuk sahabatnya.
“Wah terima kasih bimo. Tante doakan semua cita-cita kalian dikabulkan oleh Tuhan,” Ibu mengangkat jempolnya ke arah Bimo.
“Aamin. Terima kasih tante,” jawab Bimo malu-malu.
Dan kemudian, merekapun menyantap makanan yang disediakan oleh ibu Roni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...