Jumat, 18 Mei 2018

Komunikasi pada Remaja


Oleh: Ernawati,. M.Psi., Psikolog.

Remaja berasal dari kata adolescence yang memiliki arti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Remaja adalah suatu periode  transisi dari masa anak-anak menuju  dewasa yang mengalami banyak perubahan seperti perubahan fisik, kognitif, sosial dan emosional (Santrock, 2007). Menurut Sarwono (2000), remaja dalam masyarakat Indonesia merupakan individu yang berada pada usia 11-24 tahun dan belum menikah.


Beberapa karakteristik masa remaja
1. Adanya perubahan fisik yang ditandai dengan masa pubertas

2. Mulai dapat berpikir secara abstrak

3. Mulai mampu berpikir logis : bisa menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah.

4. Berkembangnya pemikiran idealis: Remaja mulai berpikir tentang kondisi ideal sehingga sering mengkritik atau protes ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan pandangan  dirinya (Santrock, 2002).

5. Mengalami krisis identitas: di fase ini, mereka harus belajar menerima tanggung jawab-tanggung jawab yang baru dan harus menanggalkan sikap kekanak-kanakannya, namun di sisi lain mereka juga masih dianggap terlalu kanak-kanak untuk mengemban tanggung jawab-tanggung jawabnya. Hal ini yang membuat remaja mengalami apa yang dinamakan dengan ”krisis identitas” (Hurlock, 1980).

6. Adanya sifat egosentris remaja: kekurangmampuan remaja untuk melihat sesuatu dari cara pandang orang lain. Sigat egosentris ini memunculkan personal fabel (merasa dirinya unik dan tidak dapat terkalahkan) dan imagery audience (merasa semua orang memperhatikan dirinya)

7. Self esteem yang menurun atau merasa tidak berharga

Banyaknya perubahan pada fase remaja membuat remaja merasa ingin dimengerti dan diberikan kesempatan lebih luas untuk menunjukan kemandiriannya. Hal ini yang membuat kita sering mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan remaja. Untuk itu, dibutuhkan suatu bentuk komunikasi khusus yang bisa memfasilitasi kebutuhan tersebut, salah satunya yaitu komunikasi suportif.

Komunikasi suportif adalah suatu bentuk komunikasi yang tujuan utamanya untuk memahami individu yang dijadikan lawan bicara.  Pada komunikasi suportif, kita berusaha membuat percakapan menjadi penuh arti, melakukan active listening, mengeksplorasi serta memberikan apresiasi pada perbedaan pendapat yang terjadi (Servellen, 2009).

Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan dalam komunikasi supportif, yaitu:

1. Ucapkan kalimat deskriptif dibandingkan kalimat evaluatif
Komunikasi deskriptif adalah cara menyampaikan sesuatu tanpa adanya penilaian (Uripni et al., 2002). Pada kalimat deskriptif, kita hanya mengemukakan apa yang terjadi.

Contoh kalimat deskriptif:
-Kamu telat datang 20 menit
-Kamu melempar bola ke arah jendela sehingga jendelanya pecah

Contoh kalimat evaluatif:
-Kamu anak yang tidak pernah menepati janji
-Kamu tidak bisa melempar bola dengan baik sehingga jendelanya pecah

2. Lebih berorientasi pada pemecahan masalah dibandingkan usaha untuk mengontrol

Dalam komunikasi suportif, kita tidak mendiktekan pemecahan masalah, tapi mengajak remaja untuk bersama-sama menetapkan tujuan dan memutuskan cara mencapainya (Uripni et al., 2002). Selain itu, kita juga berusaha untuk lebih fokus terhadap kompetensi-kompetensi yang dimiliki remaja dan berusaha membantu mengarahkan kompetensi tersebut dalam pemecahan masalah.

Contoh kalimat yang berorientasi pada pemecahan masalah
"Sepertinya kita memiliki dua rencana kegiatan yang berbeda untuk malam ini. Ibu sudah membeli tiket untuk kita menonton. Sementara kamu sudah membuat janji dengan teman. Kira-kira, apa solusinya?"

Contoh kalimat yang mengontrol
"Ibu tahu kamu akan pergi ke rumah teman kamu malam ini. Tapi ibu sudah membelikan kamu tiket untuk menonton film. Kita akan pergi menonton malam ini.”

3. Mengutamakan Spontanitas dibandingkan strategi
Strategi adalah penggunaan trik atau manipulasi untuk memengaruhi orang lain. Orang yang menggunakan strategi memperlihatkan adanya motif tertentu di balik komunikasi yang dilakukan. Sedangkan, spontanitas memperlihatkan adanya sikap jujur dan tidak ada motif tertentu (Uripni et al., 2002).
Spontanitas ini juga meliputi adanya keterbukaan (self disclosure) dari pembicara sehingga respon-respon yang dihasilkan lebih spontan dan  komunikasi berjalan mengalir tanpa banyak jeda.


4. Bersikap Empati
Empati adalah usaha untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan oleh orang lain dan berusaha mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Cara untuk menunjukan empati kita kepada remaja adalah dengan menjadi seorang “pendengar yang aktif”. Ciri-ciri orang yang mendengarkan secara aktif adalah sebagai berikut:

- Menunjukkan respon bahwa ia sedang memperhatikan lawan bicara
Terdapat dua macam respon yang memperlihatkan bahwa seseorang sedang memperhatikan lawan bicara, yaitu dengan cara memberikan respon verbal dan nonverbal. Respon verbal dapat ditunjukkan dengan mengatakan, “Hm...”, atau,“Hu uh…” ketika remaja sedang berbicara. Sedangkan, respon nonverbal dapat diperlihatkan dengan cara menganggukkan kepala atau menatap lawan bicara.

-Melakukan Klarifikasi

-Melakukan refleksi
Refleksi adalah respon yang dilakukan untuk mengembalikan kembali pesan yang disampaikan dengan cara mengatakan apa yang pendengar pahami dan terima dari pesan yang disampaikan.


-Menyimpulkan pembicaraan

5. Utamakan kesetaraan dibandingkan Superioritas
Superior artinya menunjukan bahwa posisi kita lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain. Sedangkan, kesetaraan adalah sikap di mana kita memperlakukan orang lain secara horizontal dan memiliki kesediaan untuk menerima masukan dari lawan bicara (Uripni et al., 2002).

Adanya kesetaraan ini penting diberlakukan pada remaja karena di masa ini remaja mulai mencoba untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka mulai ingin menunjukkan bahwa mereka bisa mengatur diri mereka sendiri dan mulai mencari kebebasan dari orangtuanya. Dengan arahan yang tepat, adanya keinginan untuk mendapatkan kesetaraan ini akan berkembang menjadi kemandirian pribadi di masa depan kelak (Nelsen & Lott, 2012).

Contoh pernyataan kesetaraan: "Ibu mengerti bahwa kamu mempedulikan keputusan ibu,” ketika seorang anak bertanya tentang salah satu keputusan ibunya.

Contoh pernyataan superioritas: “Beraninya kamu mempertanyakan tentang keputusan ibu!”, atau “Tahu apa kamu anak kecil?”
6. Memberikan beberapa alternatif pilihan


Manfaat komunikasi yang baik:
1. Terpenuhinya kebutuhan remaja untuk merasa diperhatikan dan dihargai oleh orangtuanya (Duvall, 1977).
2. Remaja memiliki teladan atau role model yang tepat dalam berkomunikasi
3. Remaja mendapatkan rasa aman
4. Meningkatkan kepatuhan dan rasa percaya remaja pada orangtua.

Riesch, S.K,et.al (2003) merangkum beberapa penelitian yang menunjukan tentang pengaruh positif dari komunikasi yang terbuka antara remaja dengan orangtua, yaitu:
1. Meningkatnya prestasi remaja di sekolah
2. Meningkatnya self-esteem
3. Meningkatnya kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang sulit
4. Adanya kematangan moral
5. Adanya peran aktif remaja dalam mengatasi stress
6. Meningkatnya kemampuan dalam mengekspresikan pendapat
7. Meningkatnya kemampuan dalam beradaptasi
Sebaliknya, beberapa penelitian memperlihatkan komunikasi yang tertutup antara orangtua dan remaja berkaitan dengan perilaku-perilaku remaja yang mengganggu seperti kenakalan, kehamilan dini, perilaku menyakiti diri sendiri, melawan, adanya percobaan penggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang, dan berbagai perilaku negatif lainnya  (Riesch, S.K,et.al , 2003; Barrieau, L.E, 2009).



Sumber:

- Barrieau, L.E. 2009. The Influence of Mother-Child Communication and Relationship Factors in Promoting Healthy Development in High-Risk Children. Canada: Thesis in The Department of Psychology at Concordia University. Melalui <http://spectrum.library.concordia.ca/976479/1/MR67124.pdf>

- Duvall, E.M. 1977. Marriage and Family Development (5th ed). New York: Harper & Row Publishers.

-Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

-Nelsen, J & Lott, L. 2012. Positive Discipline for Teenagers 3rd edition. New York: Three Rivers Press.

-Riesch, S.K., Anderson, L. S., & Krueger, H. A. (2006). Parent-Child Communication Processes: Preventing Children’s Health Risk Behavior. Journal of the Society of Pediatric Nurses, 11(1), 41-56.

-Santrock, J.W. 2002. Life Span Development I (5th ed).  Jakarta: Penerbit Erlangga

-Santrock, J.W. 2007. Adolesence (11th ed).  New York: McGraw Hill Companies.

-Sarwono, S.W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

-Servellen, G.M.V. 2009. Communication Skill for The Health Care Professional: Concept, Practice, and Evidence 2nd Edition. United States of America: Jones and Bartlett Publisher, LLC.
-Uripni, C.L, Sujianto, U., Indrawati, T. 2002. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Keterangan: Materi ini dibuat sebagai materi siaran di radio Mujahiddin FM tanggal 2 Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...