Oleh: Ernawati Nandhifa
Aku tidak
percaya yang namanya sihir. Serius! Aku, seorang wanita berbadan gempal dan
memiliki mata coklat yang indah, tidak pernah percaya sihir itu ada. Otakku
yang aku sembunyikan dibalik rambut ikal sebahu selalu menolak jika ada orang
yang mengatakan demikian. Cuih! Sihir di zaman modern hanyalah omong kosong.
Kalau kau
tetap memaksa, aku tetap katakan bahwa sihir itu tidak pernah ada. Sihir itu
hanya angan-angan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang memang dapat dilihat
dan teruji kebenarannya. Segalanya mungkin jika memang ilmu pengetahuan
mengatakan itu mungkin. Segalanya valid jika memang sudah lulus uji hipotesa
dan dibuktikan secara ilmiah. Dan ketika kau menjelaskan pada khalayak ramai
tentang suatu hal, mereka akan tertunduk mahfum jika sudah diberikan rentetan
data. See! Ilmu pengetahuan adalah segalanya.
Baiklah
kalau kau masih memaksa. Kalaupun sihir itu ada, bagiku sihir itu ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kau tahu, segalanya bisa diketahui hanya dengan
menyentuh tombol internet di handphone. Segalanya. Dari hal yang remeh
temeh sampai hal-hal penting. Dan kau bisa mengaksesnya hanya dengan hitungan
detik. Wow!
Namun,
semua berbalik ketika aku pertama kali menjadi seorang ibu. Ada sesuatu yang
terjadi ketika anak kembarku lahir. Aku benar-benar seperti orang yang sedang
kebakaran jenggot. Semua diluar kendali. Tidak ada satupun variabel yang bisa
aku kontrol. Semua berjalan dengan cepat dan tanpa bisa diprediksi. Aku ingin
membuka buku ataupun internet untuk mencari tahu, tapi tidak sempat. Si kembar
lahir ketika kami diperantauan tanpa satupun sanak keluarga. Membuatkuku harus
mengerjakan semuanya sendiri di tengah hutan belantara.
Sudah ku
ikuti semua literatur yang pernah kubaca. Sudah kulakukan semua informasi yang
aku temukan, tapi semuanya nihil. Aku tetap tidak mengerti apa yang harus
kulakukan kepada kedua anakku.semua betul-betul diluar kendali.
“Jadilah
tenang dan ikuti instingmu,” kata suamiku tempo hari ketika aku sedang berteman
dengan baby blues. “Setiap ibu pasti memiliki kemampuan untuk memahami
anak-anaknya, asal mereka mempercayai kekuatan itu. Tuhan Maha Baik. Ia tidak
mungkin memberikan suatu beban tanpa kemampuan untuk mengatasinya,” lanjutnya
sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
“Mungkin
itu bagi wanita lain dan bukan bagiku. Kau lihat! Apa yang aku lakukan selalu
salah. Anak-anak kita selalu menangis sepanjang hari dan aku tidak pernah tahu
kenapa,” kataku sambil menangis sejadi-jadinya.
“Tidak apa
kalau sekarang kau merasa kecewa dengan dirimu sendiri. Tidak apa kalau
sekarang kau merasa tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Tapi jangan pernah
lupa uuntuk datang kepada Tuhan. Adukan semua yang kau rasakan kepadanya.
Sesungguhnya Dialah Maha Pemberi Takdir. Sesempurna apapun ikhtiar manusia akan
menjadi kosong ketika tidak diiringi dengan doa dan tawakal,” ujarnya dengan
nada yang sangat lembut. Akupun menghentikan isak tangisku dan menciumi si
kembar yang sedang terlelap.
Sejak saat
itu, akupun berubah. Aku berusaha menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan, doa
dan rasa tawakalku kepada Tuhan. Aku menyandingkan ketiganya seperti siang dan
malam, suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Seperti
siang, ilmu pengetahuan memberikanku suatu penglihatan yang jelas. Membuatku
merasa percaya bahwa segala hal mungkin terjadi asalkan aku tidak pernah
menyerah. Seperti apa kata Tuhan, ia tidak akan merubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu yang mengusahakannya.
Layaknya
malam, doa dan rasa tawakal membawaku untuk datang dan berbicara dengan Tuhan.
Ku lantunkan doa dan kepasrahan dengan penuh rasa sunguh-sungguh seolah-olah
semua yang kulakukan tidak pernah membuahkan hasil tanpa ridho dan takdir-Nya.
Kau tahu,
sejak saat itu aku seperti memiliki sihir. Aku bisa mengendalikan anakku lebih
dari apa yang aku kira. Ketika mereka mengamuk, aku bisa menenangkan amarah
mereka hanya dengan menghitung satu sampai lima. Ketika malam tiba, pelukan dan
belaiananku bisa membuat mereka terlelap hingga pagi. Ketika mereka lapar, aku
bisa menghidangkan makanan yang mereka puji enak berkali-kali meskipun itu
hanya sebuah nasi dengan kecap. Seperti sihir, segala yang kulakukan bisa
membuat mereka mabuk kepayang. Lalu akhirnya bertekuk lutut dihadapanku dan
mencintaiku dengan utuh.
Kini, aku
adalah wanita pemilik sihir. Aku bisa memahami apa yang anak-anakku butuhkan
dan memberikan apa yang mereka minta. Semua sihir itu aku dapatkan ketika
melakukan apa yang disarankan suamiku tempo hari, menjadi tenang dan mengikuti
insting. Karena aku percaya pada dasarnya Tuhan sudah memberikan kemampuan bagi
setiap wanita untuk memahami anak-anaknya dan berbuat yang terbaik untuk
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar