Minggu, 03 Juni 2018

Cerpen: WANITA PEMILIK SIHIR



Oleh: Ernawati Nandhifa

Aku tidak percaya yang namanya sihir. Serius! Aku, seorang wanita berbadan gempal dan memiliki mata coklat yang indah, tidak pernah percaya sihir itu ada. Otakku yang aku sembunyikan dibalik rambut ikal sebahu selalu menolak jika ada orang yang mengatakan demikian. Cuih! Sihir di zaman modern hanyalah omong kosong.
Kalau kau tetap memaksa, aku tetap katakan bahwa sihir itu tidak pernah ada. Sihir itu hanya angan-angan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang memang dapat dilihat dan teruji kebenarannya. Segalanya mungkin jika memang ilmu pengetahuan mengatakan itu mungkin. Segalanya valid jika memang sudah lulus uji hipotesa dan dibuktikan secara ilmiah. Dan ketika kau menjelaskan pada khalayak ramai tentang suatu hal, mereka akan tertunduk mahfum jika sudah diberikan rentetan data. See! Ilmu pengetahuan adalah segalanya.
Baiklah kalau kau masih memaksa. Kalaupun sihir itu ada, bagiku sihir itu ilmu pengetahuan itu sendiri. Kau tahu, segalanya bisa diketahui hanya dengan menyentuh tombol internet di handphone. Segalanya. Dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal penting. Dan kau bisa mengaksesnya hanya dengan hitungan detik. Wow!
Namun, semua berbalik ketika aku pertama kali menjadi seorang ibu. Ada sesuatu yang terjadi ketika anak kembarku lahir. Aku benar-benar seperti orang yang sedang kebakaran jenggot. Semua diluar kendali. Tidak ada satupun variabel yang bisa aku kontrol. Semua berjalan dengan cepat dan tanpa bisa diprediksi. Aku ingin membuka buku ataupun internet untuk mencari tahu, tapi tidak sempat. Si kembar lahir ketika kami diperantauan tanpa satupun sanak keluarga. Membuatkuku harus mengerjakan semuanya sendiri di tengah hutan belantara.
Sudah ku ikuti semua literatur yang pernah kubaca. Sudah kulakukan semua informasi yang aku temukan, tapi semuanya nihil. Aku tetap tidak mengerti apa yang harus kulakukan kepada kedua anakku.semua betul-betul diluar kendali.
“Jadilah tenang dan ikuti instingmu,” kata suamiku tempo hari ketika aku sedang berteman dengan baby blues. “Setiap ibu pasti memiliki kemampuan untuk memahami anak-anaknya, asal mereka mempercayai kekuatan itu. Tuhan Maha Baik. Ia tidak mungkin memberikan suatu beban tanpa kemampuan untuk mengatasinya,” lanjutnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
“Mungkin itu bagi wanita lain dan bukan bagiku. Kau lihat! Apa yang aku lakukan selalu salah. Anak-anak kita selalu menangis sepanjang hari dan aku tidak pernah tahu kenapa,” kataku sambil menangis sejadi-jadinya.
“Tidak apa kalau sekarang kau merasa kecewa dengan dirimu sendiri. Tidak apa kalau sekarang kau merasa tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Tapi jangan pernah lupa uuntuk datang kepada Tuhan. Adukan semua yang kau rasakan kepadanya. Sesungguhnya Dialah Maha Pemberi Takdir. Sesempurna apapun ikhtiar manusia akan menjadi kosong ketika tidak diiringi dengan doa dan tawakal,” ujarnya dengan nada yang sangat lembut. Akupun menghentikan isak tangisku dan menciumi si kembar yang sedang terlelap.
Sejak saat itu, akupun berubah. Aku berusaha menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan, doa dan rasa tawakalku kepada Tuhan. Aku menyandingkan ketiganya seperti siang dan malam, suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Seperti siang, ilmu pengetahuan memberikanku suatu penglihatan yang jelas. Membuatku merasa percaya bahwa segala hal mungkin terjadi asalkan aku tidak pernah menyerah. Seperti apa kata Tuhan, ia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengusahakannya.
Layaknya malam, doa dan rasa tawakal membawaku untuk datang dan berbicara dengan Tuhan. Ku lantunkan doa dan kepasrahan dengan penuh rasa sunguh-sungguh seolah-olah semua yang kulakukan tidak pernah membuahkan hasil tanpa ridho dan takdir-Nya.
Kau tahu, sejak saat itu aku seperti memiliki sihir. Aku bisa mengendalikan anakku lebih dari apa yang aku kira. Ketika mereka mengamuk, aku bisa menenangkan amarah mereka hanya dengan menghitung satu sampai lima. Ketika malam tiba, pelukan dan belaiananku bisa membuat mereka terlelap hingga pagi. Ketika mereka lapar, aku bisa menghidangkan makanan yang mereka puji enak berkali-kali meskipun itu hanya sebuah nasi dengan kecap. Seperti sihir, segala yang kulakukan bisa membuat mereka mabuk kepayang. Lalu akhirnya bertekuk lutut dihadapanku dan mencintaiku dengan utuh.
Kini, aku adalah wanita pemilik sihir. Aku bisa memahami apa yang anak-anakku butuhkan dan memberikan apa yang mereka minta. Semua sihir itu aku dapatkan ketika melakukan apa yang disarankan suamiku tempo hari, menjadi tenang dan mengikuti insting. Karena aku percaya pada dasarnya Tuhan sudah memberikan kemampuan bagi setiap wanita untuk memahami anak-anaknya dan berbuat yang terbaik untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...