Minggu, 03 Juni 2018

Cerpen: CINDERELA TIDAK PERNAH BERUNTUNG



Oleh: Ernawati Nandhifa

Sekepal nasi dan sepotong ikan asin tergeletak di hadapanku. Siap di lahap oleh para cacing di perut yang sudah berontak sejak dua jam tadi. Kedua anakkupun sudah sangat sigap menyerbu makanan di depanku sekarang ini. Maaf, aku ralat. Bukan dua, tapi tiga dengan seorang janin yang sedang melesat tumbuh di dalam rahim, menyerap setiap nutrisi yang ada di tubuh mungilku ini.
Ah para bayi memang tumbuh dengan cara istimewa. Menyeruput pelan-pelan setiap gizi yang ada di makanan ibunya, atau mengambilnya dari yang sudah tersusun di badan wanita yang memeliharanya dalam kandungan. Dengan keterbatasan gizi yang bisa kumasukan dalam tubuh, proses ini membuatku terlihat renta terasa meski usia masih dua puluh lima.
Keputusanku untuk menikah dengan lelaki sederhana membuat aku perlu menjalani hari-hari yang berbeda. Tidak ada lagi hamparan makanan yangg bisa kupilih untuk ku makan atau ku cela dan ku buang. Tidak ada lagi dinding-dinding kokoh berhiaskan lukisan mahal yang seringkali tidak dimengerti orang awam. Tidak ada lagi gaun indah seharga sebuah sepeda motor yang sering kupakai hanya satu kali dan selanjutnya mengendap di lemari. Semuanya berganti dengan keterbatasan.
Setiap bulan, gaji kami hanya bisa sampai tanggal dua puluh. Sisanya aku harus berhutang ke sana dan ke sini untuk menutupi kekurangan. Apalagi kini anak kami akan menjadi tiga dalam tiga tahun perkawinan. Membuat ikat pinggang seharga lima ribu rupiah yang aku beli di pasar malam tempo hari perlu aku ikat lebih kencang lagi.
Rasanya betul kata orang kalau cinta itu memang tanpa logika. Dan seringkali membuat manusia yang terkena panahnya menjadi buta. Kadang aku berpikir mungkin cupid tidak memanah asmara ke arah hati, tapi ke bagian mata sehingga para pemabuk asmara menjadi tidak mampu melihat secara jernih. Aku, seorang gadis kaya yang menjadi pujaan hati banyak pria, justru jatuh cinta pada sebuah pedagang es keliling yang sering mangkal di depan kampus. Entah karena aku merasa hidupku terlalu sempurna hingga aku menginginkan tantangan, atau mungkin memang sudah takdir Tuhan, akupun memberikan seluruh hatiku kepadanya.
Cinta kamipun bukan tanpa halangan. Orangtuaku tentu saja menolak terang-terangan. Mereka tidak terima gadis kesayangan mereka dipersunting oleh seorang pedagang es. Apalagi akulah satu-satunya buah hati mereka. Berbagai alasan bahkan ancamanpun berhamburan. Namun aku hanya diam dan tetap teguh dengan keputusanku.
Sekali lagi, entah karena hidupku butuh adrenalin, atau memang ini takdir Tuhan, aku menerima tawaran untuk kawin lari. Akupun sudah bosan selalu mendapatkan yang aku inginkan. Ditambah lagi cinta dalam hatiku terlalu manis hingga membuatku mabuk kepayang.
Akhirnya kami pindah ke kota lain dan melangsungkan pernikahan sederhana. Hanya ada aku, dia, wali hakim yang entah bisa dia dapatkan dari mana, dan persyaratan-persyaratan nikah yang sekedar formalitas. Tidak ada yang lebih selain yang diwajibkan. Namun semuanya kami jalankan dengan bahagia.
Berapa lama kah perasaan bahagia itu? Ternyata hanya bertahan seminggu. Seminggu kemudian aku kelimpungan. Aku tidak tahu bagaimana harus memasak, mencuci baju, menyapu, mengepel lantai, serta pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini aku pikir tidak ada. Aku, yang terbiasa hanya berteman dengan laptop, tidak pernah berpikir ada pekerjaan-pekerjaan seperti ini karena semuanya sudah dikerjakan asisten rumah tangga.
Seringkali aku menangis dalam diam karena aku tidak ingin orang lain tahu. Tidak jarang akupun merasa putus asa dan ingin mengakhiri pernikahanku untuk kembali kepada diriku yang dulu. Gadis mungil manja yang selalu mendapatkan apapun yang dia mau, mencuri perhatian banyak orang dan bisa hidup lebih dari berkecukupan tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Bayangan yang ia angankan jika ia memilih hidup lepas meninggalkan suaminya dan segala kemelaratannya. Namun setiap kali keinginan tersebut muncul, cerita ibu selalu melintas di kepalanya, cerita yang menjelaskan bahwa cinderela tidak pernah beruntung.
***




“Bu, aku ingin seperti cinderella,” kataku sambil meletakan kepala dalam pangkuannya.
Ibu tersenyum sambil mengelus keningku. “Apa yang membuatmu memiliki cita-cita seperti itu nak?”
“Cinderella itu wanita yang sangat beruntung, Bu. Dia gadis biasa tapi bisa mendapatkan seorang pangeran. Bukankah itu impian setiap wanita.”
Ibu tersenyum sambil emngelus rambutku. “Cinderella tidak pernah beruntung nak. Kalaupun dia dipilih oleh pangeran, itu karena hasil kerja kerasnya.”
Aku mengerenyitkan dahi. “Maksud ibu?”
“Ya. Yang kita tahu hanya sebagian cerita dari cinderella. Bagian manisnya saja. Ketika seorang gadis biasa bisa dipersunting oleh pangeran dan akhirnya hidup bahagia di istana. Padahal, sebelum itu ia bekerja sangat keras. Ia membersihkan seluruh rumah, mencuci pakaian ibu dan saudara-saudaranya, dan memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi”
“Iya juga ya bu.”
“Tentu Nak. Dan satu hal lagi yang perlu kita tahu. Setiap wanita akan mengalami apa yang Cinderela hadapi”
Aku kembali mengerenyitkan dahi. Kali ini sambil menatap ibu.
“Aku tidak mengerti. Apa maksud ibu?”
“Dengarkan anak gadisku,” kata ibu dengan suara yang lembut. “Tidak ada kehidupan yang sempurna. Seperti apapun dia, pasti ada satu titik dimana seorang wanita perlu mengalami rasa sakit dan pahit. Agar dia bisa merasa dan menghargai rasanya manis. Tak perduli siapapun dia,” jelas ibu sambil menatap kosong.
“Siapapun dia? Termasuk aku?” kataku sambil menunjuk diri.
“Iya, tentu saja,” ibu menyentuh jahil hidungku. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Jika hal tersebut tiba, yakinlah bahwa semua akan berakhir dan sebuah keajaiban akan datang. Semua kepedihan dan kesulitan akan berubah menjadi rasa indah seperti badai yang berganti pelangi. Yang perlu kau lakukan hanya terus melangkah dan tidak berputus asa. Seperti cinderela, ia tidak pernah beruntung. Keuletan dan kerja kerasnyalah yang membuatnya bisa lepas dari segala kehimpitan hidup.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...