Oleh: Ernawati Nandhifa
Sekepal
nasi dan sepotong ikan asin tergeletak di hadapanku. Siap di lahap oleh para
cacing di perut yang sudah berontak sejak dua jam tadi. Kedua anakkupun sudah sangat sigap menyerbu makanan di
depanku sekarang ini. Maaf, aku
ralat. Bukan dua, tapi tiga dengan seorang janin yang sedang melesat tumbuh di dalam rahim,
menyerap setiap nutrisi yang ada di tubuh mungilku ini.
Ah para
bayi memang tumbuh dengan cara istimewa. Menyeruput pelan-pelan setiap gizi
yang ada di makanan ibunya, atau mengambilnya dari yang sudah tersusun di badan
wanita yang memeliharanya dalam kandungan. Dengan keterbatasan gizi yang bisa
kumasukan dalam tubuh, proses ini membuatku terlihat renta terasa meski usia
masih dua puluh lima.
Keputusanku
untuk menikah dengan lelaki sederhana membuat aku perlu menjalani hari-hari
yang berbeda. Tidak ada lagi hamparan makanan yangg bisa kupilih untuk ku makan
atau ku cela dan ku buang. Tidak ada lagi dinding-dinding kokoh berhiaskan
lukisan mahal yang seringkali tidak dimengerti orang awam. Tidak ada lagi gaun
indah seharga sebuah sepeda motor yang sering kupakai hanya satu kali dan
selanjutnya mengendap di lemari. Semuanya berganti dengan keterbatasan.
Setiap bulan, gaji kami
hanya bisa sampai tanggal dua puluh. Sisanya aku harus berhutang ke sana dan ke
sini untuk menutupi kekurangan. Apalagi
kini anak kami akan menjadi tiga dalam tiga tahun perkawinan. Membuat ikat
pinggang seharga lima ribu rupiah yang aku beli di pasar malam tempo hari perlu
aku ikat lebih kencang lagi.
Rasanya
betul kata orang kalau cinta itu memang tanpa logika. Dan seringkali membuat
manusia yang terkena panahnya menjadi buta. Kadang aku berpikir mungkin cupid
tidak memanah asmara ke arah hati, tapi ke bagian mata sehingga para pemabuk
asmara menjadi tidak mampu melihat secara jernih. Aku, seorang gadis kaya yang
menjadi pujaan hati banyak pria, justru jatuh cinta pada sebuah pedagang es
keliling yang sering mangkal di depan kampus. Entah karena aku merasa hidupku
terlalu sempurna hingga aku menginginkan tantangan, atau mungkin memang sudah
takdir Tuhan, akupun memberikan seluruh hatiku kepadanya.
Cinta
kamipun bukan tanpa halangan. Orangtuaku tentu saja menolak terang-terangan.
Mereka tidak terima gadis kesayangan mereka dipersunting oleh seorang pedagang
es. Apalagi akulah satu-satunya buah hati mereka. Berbagai alasan bahkan
ancamanpun berhamburan. Namun aku hanya diam dan tetap teguh dengan keputusanku.
Sekali
lagi, entah karena hidupku butuh adrenalin, atau memang ini takdir Tuhan, aku
menerima tawaran untuk kawin lari. Akupun sudah bosan selalu mendapatkan yang
aku inginkan. Ditambah lagi cinta dalam hatiku terlalu manis hingga membuatku
mabuk kepayang.
Akhirnya
kami pindah ke kota lain dan melangsungkan pernikahan sederhana. Hanya ada aku,
dia, wali hakim yang entah bisa dia dapatkan dari mana, dan
persyaratan-persyaratan nikah yang sekedar formalitas. Tidak ada yang lebih
selain yang diwajibkan. Namun semuanya kami jalankan dengan bahagia.
Berapa
lama kah perasaan bahagia itu? Ternyata hanya bertahan seminggu. Seminggu
kemudian aku kelimpungan. Aku tidak tahu bagaimana harus memasak, mencuci baju,
menyapu, mengepel lantai, serta pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini aku
pikir tidak ada. Aku, yang terbiasa hanya berteman dengan laptop, tidak pernah
berpikir ada pekerjaan-pekerjaan seperti ini karena semuanya sudah dikerjakan
asisten rumah tangga.
Seringkali
aku menangis dalam diam karena aku tidak ingin orang lain tahu. Tidak jarang
akupun merasa putus asa dan ingin mengakhiri pernikahanku untuk kembali kepada
diriku yang dulu. Gadis mungil manja yang selalu mendapatkan apapun yang dia
mau, mencuri perhatian banyak orang dan bisa hidup lebih dari berkecukupan
tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Bayangan yang ia angankan jika ia memilih
hidup lepas meninggalkan suaminya dan segala kemelaratannya. Namun setiap kali
keinginan tersebut muncul, cerita ibu selalu melintas di kepalanya, cerita yang
menjelaskan bahwa cinderela tidak pernah beruntung.
***
“Bu, aku
ingin seperti cinderella,” kataku sambil meletakan kepala dalam pangkuannya.
Ibu
tersenyum sambil mengelus keningku. “Apa yang membuatmu memiliki cita-cita
seperti itu nak?”
“Cinderella
itu wanita yang sangat beruntung, Bu. Dia gadis biasa tapi bisa mendapatkan
seorang pangeran. Bukankah itu impian setiap wanita.”
Ibu
tersenyum sambil emngelus rambutku. “Cinderella tidak pernah beruntung nak.
Kalaupun dia dipilih oleh pangeran, itu karena hasil kerja kerasnya.”
Aku
mengerenyitkan dahi. “Maksud ibu?”
“Ya. Yang
kita tahu hanya sebagian cerita dari cinderella. Bagian manisnya saja. Ketika
seorang gadis biasa bisa dipersunting oleh pangeran dan akhirnya hidup bahagia
di istana. Padahal, sebelum itu ia bekerja sangat keras. Ia membersihkan
seluruh rumah, mencuci pakaian ibu dan saudara-saudaranya, dan memastikan semua
kebutuhan mereka terpenuhi”
“Iya juga
ya bu.”
“Tentu
Nak. Dan satu hal lagi yang perlu kita tahu. Setiap wanita akan mengalami apa
yang Cinderela hadapi”
Aku
kembali mengerenyitkan dahi. Kali ini sambil menatap ibu.
“Aku tidak
mengerti. Apa maksud ibu?”
“Dengarkan
anak gadisku,” kata ibu dengan suara yang lembut. “Tidak ada kehidupan yang
sempurna. Seperti apapun dia, pasti ada satu titik dimana seorang wanita perlu
mengalami rasa sakit dan pahit. Agar dia bisa merasa dan menghargai rasanya
manis. Tak perduli siapapun dia,” jelas ibu sambil menatap kosong.
“Siapapun
dia? Termasuk aku?” kataku sambil menunjuk diri.
“Iya,
tentu saja,” ibu menyentuh jahil hidungku. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Jika
hal tersebut tiba, yakinlah bahwa semua akan berakhir dan sebuah keajaiban akan
datang. Semua kepedihan dan kesulitan akan berubah menjadi rasa indah seperti
badai yang berganti pelangi. Yang perlu kau lakukan hanya terus melangkah dan
tidak berputus asa. Seperti cinderela, ia tidak pernah beruntung. Keuletan dan
kerja kerasnyalah yang membuatnya bisa lepas dari segala kehimpitan hidup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar