Jumat, 29 Juni 2018

Homeschooling Keenan (Day 40): Mengenalkan Adzan dan Shalat



Jumat, 23 Maret 2018


Holaaaaa....
Ketemu lagi setelah sekian purnama. Hehehhehe
Lagi sibuk sana-sini jadi baru sempet bikin laporan homeschooling Keenan. Baisanya perhari emang dibuat laporannya. Tapi ga detail. Baru kali ini sempet bikin yang detail lagi (alasan. hahahaha).
Ya udah lah ya kita mulai aja. Ini laporan waktu tanggal 23 Maret 2018. Kegiatannya mengenalkan adzan dan shalat.  Sebetulnya dalam framework pendidikan berbasis fitrah, fokus utama di usia kayak Keenan gini yaitu memunculkan image positif bahwa ibadah itu menyenangkan. Jadi saya fokus ke aspek itu aja.

Setiap adzan datang, saya bilang ke Keenan,”Asyik, waktunya shalat. Shalat itu bikin seneng loh. Soalnya bisa ngobrol sama Allah”. Setelah itu biasanya saya langsung wudhu. Dan saya memilih untuk belum memperkenalkan cara wudhu ke Keenan. Kenapa? Karena Keenan suka banget main air. Kalau di ajak wudhu, yang ada dia malah ngebasahin semua bajunya. Terus saya jadi bete. Terus kegiatan shalatnya jadi ga menyenangkan lagi. Jadi ya udah. Akhirnya saya pilih untuk menskip dulu perkenalan tentang wudhu ini dan fokus memperkenalkan ke Keenan kalau shalat itu menyenangkan.

Biasanya ketika shalat, sajadah Keenan tetap ada di depan saya karena dia anak laki-laki. Di kamar kami memang ada kaca sehingga meskipun di depan, dia bisa melihat gerakan-gerakan saya dan tidak khawatir kalau saya tidak ada. Gerakannya sih masih absurd. Bahkan kadang Keenan Cuma tiduran aja. Tapi ya gapapa. Namanya juga masih perkenalan. Hehehe.
Tapi ada PR juga nih buat saya. Keenan ga mau pake sarung atau peci. Maunya pake mukena kayak ibunya. Duhduhduh. PR juga ini karena sehari-hari yang dia lihat memang saya. Mungkin nanti kalau ayahnya sudah sering di rumah dia bisa belajar kalau laki-laki itu tidak pakai mukena. Hehehe.

Tempat: Rumah
Alasan: bisa lebih fokus mengajarkan anak shalat.

Kegiatan:
Memperkenalkan adzan dan shalat

Aspek yang di gali:
1. Ketuhanan: Belajar Beribadah
Fitrah yang dilibatkan: Fitrah keimanan

2. Alam: -
Fitrah yang dilibatkan: -

3. Sosial: Berinteraksi dengan ibu
Fitrah yang dilibatkan: Fitrah Sosial

4. Diri Sendiri

a)        Fisik/motorik:  melatih gerakan-gerakan shalat
b)        Kognitif: belajar kosa kata yang berkaitan dengan shalat (misal Allahu Akbar)
c)         Kemandirian: -
d)        Emosi: -

Fitrah yang dilibatkan: fitrah perkembangan dan fitrah belajar



Perlengkapan:
Peralatan shalat

Biaya:
- 
 


#homeschooling

#kegiatanhomeschooling
#idehomeschooling
#inspirasihomeschooling
#homeschoolingibuerna
#homeschoolingKeenan
#Pendidikanberbasisfitrah
#HomeEducation
#UstadzHarrySantosa
#FitrahBasedEducation
#MenjagaFitrahAnak
#Fitrah

Minggu, 03 Juni 2018

Cerpen: WANITA PEMILIK SIHIR



Oleh: Ernawati Nandhifa

Aku tidak percaya yang namanya sihir. Serius! Aku, seorang wanita berbadan gempal dan memiliki mata coklat yang indah, tidak pernah percaya sihir itu ada. Otakku yang aku sembunyikan dibalik rambut ikal sebahu selalu menolak jika ada orang yang mengatakan demikian. Cuih! Sihir di zaman modern hanyalah omong kosong.
Kalau kau tetap memaksa, aku tetap katakan bahwa sihir itu tidak pernah ada. Sihir itu hanya angan-angan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang memang dapat dilihat dan teruji kebenarannya. Segalanya mungkin jika memang ilmu pengetahuan mengatakan itu mungkin. Segalanya valid jika memang sudah lulus uji hipotesa dan dibuktikan secara ilmiah. Dan ketika kau menjelaskan pada khalayak ramai tentang suatu hal, mereka akan tertunduk mahfum jika sudah diberikan rentetan data. See! Ilmu pengetahuan adalah segalanya.
Baiklah kalau kau masih memaksa. Kalaupun sihir itu ada, bagiku sihir itu ilmu pengetahuan itu sendiri. Kau tahu, segalanya bisa diketahui hanya dengan menyentuh tombol internet di handphone. Segalanya. Dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal penting. Dan kau bisa mengaksesnya hanya dengan hitungan detik. Wow!
Namun, semua berbalik ketika aku pertama kali menjadi seorang ibu. Ada sesuatu yang terjadi ketika anak kembarku lahir. Aku benar-benar seperti orang yang sedang kebakaran jenggot. Semua diluar kendali. Tidak ada satupun variabel yang bisa aku kontrol. Semua berjalan dengan cepat dan tanpa bisa diprediksi. Aku ingin membuka buku ataupun internet untuk mencari tahu, tapi tidak sempat. Si kembar lahir ketika kami diperantauan tanpa satupun sanak keluarga. Membuatkuku harus mengerjakan semuanya sendiri di tengah hutan belantara.
Sudah ku ikuti semua literatur yang pernah kubaca. Sudah kulakukan semua informasi yang aku temukan, tapi semuanya nihil. Aku tetap tidak mengerti apa yang harus kulakukan kepada kedua anakku.semua betul-betul diluar kendali.
“Jadilah tenang dan ikuti instingmu,” kata suamiku tempo hari ketika aku sedang berteman dengan baby blues. “Setiap ibu pasti memiliki kemampuan untuk memahami anak-anaknya, asal mereka mempercayai kekuatan itu. Tuhan Maha Baik. Ia tidak mungkin memberikan suatu beban tanpa kemampuan untuk mengatasinya,” lanjutnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
“Mungkin itu bagi wanita lain dan bukan bagiku. Kau lihat! Apa yang aku lakukan selalu salah. Anak-anak kita selalu menangis sepanjang hari dan aku tidak pernah tahu kenapa,” kataku sambil menangis sejadi-jadinya.
“Tidak apa kalau sekarang kau merasa kecewa dengan dirimu sendiri. Tidak apa kalau sekarang kau merasa tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Tapi jangan pernah lupa uuntuk datang kepada Tuhan. Adukan semua yang kau rasakan kepadanya. Sesungguhnya Dialah Maha Pemberi Takdir. Sesempurna apapun ikhtiar manusia akan menjadi kosong ketika tidak diiringi dengan doa dan tawakal,” ujarnya dengan nada yang sangat lembut. Akupun menghentikan isak tangisku dan menciumi si kembar yang sedang terlelap.
Sejak saat itu, akupun berubah. Aku berusaha menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan, doa dan rasa tawakalku kepada Tuhan. Aku menyandingkan ketiganya seperti siang dan malam, suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Seperti siang, ilmu pengetahuan memberikanku suatu penglihatan yang jelas. Membuatku merasa percaya bahwa segala hal mungkin terjadi asalkan aku tidak pernah menyerah. Seperti apa kata Tuhan, ia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengusahakannya.
Layaknya malam, doa dan rasa tawakal membawaku untuk datang dan berbicara dengan Tuhan. Ku lantunkan doa dan kepasrahan dengan penuh rasa sunguh-sungguh seolah-olah semua yang kulakukan tidak pernah membuahkan hasil tanpa ridho dan takdir-Nya.
Kau tahu, sejak saat itu aku seperti memiliki sihir. Aku bisa mengendalikan anakku lebih dari apa yang aku kira. Ketika mereka mengamuk, aku bisa menenangkan amarah mereka hanya dengan menghitung satu sampai lima. Ketika malam tiba, pelukan dan belaiananku bisa membuat mereka terlelap hingga pagi. Ketika mereka lapar, aku bisa menghidangkan makanan yang mereka puji enak berkali-kali meskipun itu hanya sebuah nasi dengan kecap. Seperti sihir, segala yang kulakukan bisa membuat mereka mabuk kepayang. Lalu akhirnya bertekuk lutut dihadapanku dan mencintaiku dengan utuh.
Kini, aku adalah wanita pemilik sihir. Aku bisa memahami apa yang anak-anakku butuhkan dan memberikan apa yang mereka minta. Semua sihir itu aku dapatkan ketika melakukan apa yang disarankan suamiku tempo hari, menjadi tenang dan mengikuti insting. Karena aku percaya pada dasarnya Tuhan sudah memberikan kemampuan bagi setiap wanita untuk memahami anak-anaknya dan berbuat yang terbaik untuk mereka.

Cerpen: CINDERELA TIDAK PERNAH BERUNTUNG



Oleh: Ernawati Nandhifa

Sekepal nasi dan sepotong ikan asin tergeletak di hadapanku. Siap di lahap oleh para cacing di perut yang sudah berontak sejak dua jam tadi. Kedua anakkupun sudah sangat sigap menyerbu makanan di depanku sekarang ini. Maaf, aku ralat. Bukan dua, tapi tiga dengan seorang janin yang sedang melesat tumbuh di dalam rahim, menyerap setiap nutrisi yang ada di tubuh mungilku ini.
Ah para bayi memang tumbuh dengan cara istimewa. Menyeruput pelan-pelan setiap gizi yang ada di makanan ibunya, atau mengambilnya dari yang sudah tersusun di badan wanita yang memeliharanya dalam kandungan. Dengan keterbatasan gizi yang bisa kumasukan dalam tubuh, proses ini membuatku terlihat renta terasa meski usia masih dua puluh lima.
Keputusanku untuk menikah dengan lelaki sederhana membuat aku perlu menjalani hari-hari yang berbeda. Tidak ada lagi hamparan makanan yangg bisa kupilih untuk ku makan atau ku cela dan ku buang. Tidak ada lagi dinding-dinding kokoh berhiaskan lukisan mahal yang seringkali tidak dimengerti orang awam. Tidak ada lagi gaun indah seharga sebuah sepeda motor yang sering kupakai hanya satu kali dan selanjutnya mengendap di lemari. Semuanya berganti dengan keterbatasan.
Setiap bulan, gaji kami hanya bisa sampai tanggal dua puluh. Sisanya aku harus berhutang ke sana dan ke sini untuk menutupi kekurangan. Apalagi kini anak kami akan menjadi tiga dalam tiga tahun perkawinan. Membuat ikat pinggang seharga lima ribu rupiah yang aku beli di pasar malam tempo hari perlu aku ikat lebih kencang lagi.
Rasanya betul kata orang kalau cinta itu memang tanpa logika. Dan seringkali membuat manusia yang terkena panahnya menjadi buta. Kadang aku berpikir mungkin cupid tidak memanah asmara ke arah hati, tapi ke bagian mata sehingga para pemabuk asmara menjadi tidak mampu melihat secara jernih. Aku, seorang gadis kaya yang menjadi pujaan hati banyak pria, justru jatuh cinta pada sebuah pedagang es keliling yang sering mangkal di depan kampus. Entah karena aku merasa hidupku terlalu sempurna hingga aku menginginkan tantangan, atau mungkin memang sudah takdir Tuhan, akupun memberikan seluruh hatiku kepadanya.
Cinta kamipun bukan tanpa halangan. Orangtuaku tentu saja menolak terang-terangan. Mereka tidak terima gadis kesayangan mereka dipersunting oleh seorang pedagang es. Apalagi akulah satu-satunya buah hati mereka. Berbagai alasan bahkan ancamanpun berhamburan. Namun aku hanya diam dan tetap teguh dengan keputusanku.
Sekali lagi, entah karena hidupku butuh adrenalin, atau memang ini takdir Tuhan, aku menerima tawaran untuk kawin lari. Akupun sudah bosan selalu mendapatkan yang aku inginkan. Ditambah lagi cinta dalam hatiku terlalu manis hingga membuatku mabuk kepayang.
Akhirnya kami pindah ke kota lain dan melangsungkan pernikahan sederhana. Hanya ada aku, dia, wali hakim yang entah bisa dia dapatkan dari mana, dan persyaratan-persyaratan nikah yang sekedar formalitas. Tidak ada yang lebih selain yang diwajibkan. Namun semuanya kami jalankan dengan bahagia.
Berapa lama kah perasaan bahagia itu? Ternyata hanya bertahan seminggu. Seminggu kemudian aku kelimpungan. Aku tidak tahu bagaimana harus memasak, mencuci baju, menyapu, mengepel lantai, serta pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini aku pikir tidak ada. Aku, yang terbiasa hanya berteman dengan laptop, tidak pernah berpikir ada pekerjaan-pekerjaan seperti ini karena semuanya sudah dikerjakan asisten rumah tangga.
Seringkali aku menangis dalam diam karena aku tidak ingin orang lain tahu. Tidak jarang akupun merasa putus asa dan ingin mengakhiri pernikahanku untuk kembali kepada diriku yang dulu. Gadis mungil manja yang selalu mendapatkan apapun yang dia mau, mencuri perhatian banyak orang dan bisa hidup lebih dari berkecukupan tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Bayangan yang ia angankan jika ia memilih hidup lepas meninggalkan suaminya dan segala kemelaratannya. Namun setiap kali keinginan tersebut muncul, cerita ibu selalu melintas di kepalanya, cerita yang menjelaskan bahwa cinderela tidak pernah beruntung.
***




“Bu, aku ingin seperti cinderella,” kataku sambil meletakan kepala dalam pangkuannya.
Ibu tersenyum sambil mengelus keningku. “Apa yang membuatmu memiliki cita-cita seperti itu nak?”
“Cinderella itu wanita yang sangat beruntung, Bu. Dia gadis biasa tapi bisa mendapatkan seorang pangeran. Bukankah itu impian setiap wanita.”
Ibu tersenyum sambil emngelus rambutku. “Cinderella tidak pernah beruntung nak. Kalaupun dia dipilih oleh pangeran, itu karena hasil kerja kerasnya.”
Aku mengerenyitkan dahi. “Maksud ibu?”
“Ya. Yang kita tahu hanya sebagian cerita dari cinderella. Bagian manisnya saja. Ketika seorang gadis biasa bisa dipersunting oleh pangeran dan akhirnya hidup bahagia di istana. Padahal, sebelum itu ia bekerja sangat keras. Ia membersihkan seluruh rumah, mencuci pakaian ibu dan saudara-saudaranya, dan memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi”
“Iya juga ya bu.”
“Tentu Nak. Dan satu hal lagi yang perlu kita tahu. Setiap wanita akan mengalami apa yang Cinderela hadapi”
Aku kembali mengerenyitkan dahi. Kali ini sambil menatap ibu.
“Aku tidak mengerti. Apa maksud ibu?”
“Dengarkan anak gadisku,” kata ibu dengan suara yang lembut. “Tidak ada kehidupan yang sempurna. Seperti apapun dia, pasti ada satu titik dimana seorang wanita perlu mengalami rasa sakit dan pahit. Agar dia bisa merasa dan menghargai rasanya manis. Tak perduli siapapun dia,” jelas ibu sambil menatap kosong.
“Siapapun dia? Termasuk aku?” kataku sambil menunjuk diri.
“Iya, tentu saja,” ibu menyentuh jahil hidungku. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Jika hal tersebut tiba, yakinlah bahwa semua akan berakhir dan sebuah keajaiban akan datang. Semua kepedihan dan kesulitan akan berubah menjadi rasa indah seperti badai yang berganti pelangi. Yang perlu kau lakukan hanya terus melangkah dan tidak berputus asa. Seperti cinderela, ia tidak pernah beruntung. Keuletan dan kerja kerasnyalah yang membuatnya bisa lepas dari segala kehimpitan hidup.”

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...