Senin, 11 April 2022

Mengenal Sindrom Marfan

 

Mba Chusna adalah nama salah satu peserta bootcamp ibu Inklusif yang saya wawancara. Sejak membaca sekilah tentang perjalanan hidupnya, saya sudah menduga beliau ibu yang tangguh. Bagaimana tidak, beliau memiliki dua anak berkebutuhan khusus dengan jarak usia yang tidak terpaut jauh.


Saat pertama kali bercerita, suara beliau terdengar renyah dan menyenangkan. Ada getar keteguhan yang saya dengar di beberapa bagian saat beliau bercerita, terutama ketika menceritakan tentang kondisi anaknya. Saya sendiri mendengarkan dengan seksama dan ikut penasaran dengan keterbutuhan khusus anak sulung beliau. Dari ceritanya, diagnosa yang diberikan ke putrinya belum terlalu jelas. Hingga saat beliau ke Jogja, baru diketahui kalau anaknya menyandang Sindrom Marfan.


Mengenal Sindrom Marfan

Saya pribadi baru mendengar nama penyakit ini. Menurut Mba Chusna, sindrome marrfan merupakan duatu kelainan bawaan yang mempengaruhi jaringan ikat. Pasien dengan menyakit ini membutuhkan terapi dan treatmen selama hidupnya.

 

Gejala sindrom ini bisa dirasakan di hampir semua bagian tubuh. Hal ini disebabkan karena jaringan ikat sendiri berfungi sebagai penghubung antar jaringan dan organ tubuh, termasuk tulang manusia.


Pada anak sulung Mba Chusna, gejala ini sudah terlihat ketika anaknya masih berusia 18 bulan. Saat itu anaknya belum bisa jalan dan bicara. Selain itu, anaknya juga mengalami masalah pencernaan dan butuh pengobatan selama enam bulan lebih. Selain itu, usia tulangnya juga setengah dari usia biologisnya.


Kisah ibu dengan anak penyandang sindrom marfan

Perjalanan Mba Chusna sungguh membuat haru. Sampai sekarang, mba Chusna tetap perlu melakukan pengobatan medis bagi anak-anaknya. Namun, dari semua perjalanan tersebut, mba Chusna bertemu dengan konsep ‘tiga pilar’ sebagai support system anak berkebutuhan khusus. Konsep tersebut diperkenalkan oleh terapis kedua anaknya. 


Apa saja pilar-pilar tersebut? Ini dia penjelasannya:

Pilar pertama, orangtua. Pilar ini membangun lingkungan rumah yang mendukung proses kemandirian anak berkebutuhan khusus agar siap belajar bersama-sama teman non-difabel disekolahnya.

Pilar kedua, medis. Pilar ini memberikan bantuan dan arahan secara media kepada ABK. Baik dalam bentuk pengobatan, perawatan maupun perlakuan medis.

Pilar ketiga: sekolah inklusi. Pilar ini menyiapkan lingkungan belajar inklusif bagi ABK. Membantu dan mendukung mereka menekuni minat bakatnya agar bisa menjadi bekal untuk survive di masa depan.


Mba Chusna tidak hanya mempraktikan pilar-pilar ini di kehidupan pribadinya, tapi juga membagikan ilmu tersebut ke masyarakat. Salah satunya ketika beliau menjadi pemateri di Trancity Harmoni Ibu Profesional.

Mba Chusna ketika berbagi ilmu tentang tiga pilar
Sumber: Akun Instagram Chusna.ummusyifa


Penutup

Kisah lengkap tentang Mba Chusna ini ada di e-book yang akan dibagikan gratis saat launching tanggal 21 April nanti, InsyaAllah. Saya sendiri tidak sabar membaca cerita penulis-penulis lain yang juga para pejuang inklusif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Piknik Yuk, Mak!

 Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata ‘Piknik’? Topi dan kacamata hitam? Tikar dan rumput hijau membentang? Healing ? Kalau b...